[caption id="" align="aligncenter" width="600" caption="Megawati Soekarnoputri diapit Bibit Waluyo dan Rustriningsih, pada Pilkada 2008 (sumber: kompas.com)"][/caption] Rustriningsih lahir di Kebumen, tanggal 3 Juli 1967 sebagai anak kedelapan dari sepuluh bersaudara pasangan suami istri Sukamto-Sumarsih. Namanya pertama kali muncul di media saat ia tampil sebagai penyelamat Gombong dari kehancuran akibat kerusuhan yang meletus di Kebumen 7 September 1998.
Waktu itu puluhan toko dan gudang ludes terbakar atau hancur dijarah massa. Sebagai Ketua DPC PDI-P, ia meredam kerusuhan dengan memasang bendera PDI-P, atribut dan gambar-gambar Megawati Soekarnoputri di dinding-dinding pertokoan. Ia sadar bahwa masyarakat di desa-desa terbiasa “nurut tur manut” perintah Megawati. Upaya ini ternyata efektif meredam perusakan.
Rustri memang pengagum Megawati. Sebagai anak dari dedengkot Partai Nasional Indonesia (PNI), Rustri aktif di PDI sejak tahun 90-an. Saat itu nama partai belum ada kata “Perjuangan”. Ia pernah menjabat Wakil Sekretaris DPC PDI. Pada tahun 1996 ia terpilih menjadi orang nomor satu di DPC PDI Kebumen. Ketika PDI pecah tahun 1997, ia memilih bergabung dengan Megawati. Pejah Gesang Nderek Mbak Mega.
Begitu Orde Baru jatuh tahun 1998, PDI pimpinan Megawati yang kemudian diberi tambahan Perjuangan, mendapat tempat di hati masyarakat. Pada tahun 1999, PDI-P memenangi pemilu. Pada tahun 1999 itu juga Rustri ditunjuk PDI-P menjadi Anggota MPR. Namun baru setahun menjabat, ia direkomendasikan PDI-P untuk maju sebagai Calon Bupati Kebumen pada Pilkada 2000, dan terpilih. Lima tahun kemudian, ia kembali direkomendasikan PDI-P untuk memperpanjang masa jabatannya yang kedua, 2005-2010.
Akan tetapi, belum genap 5 tahun Rustri merampungkan jabatan keduanya, ia direkomendasikan PDI-P untuk maju sebagai Calon Wakil Gubernur pada Pilkada 2008. Kala itu, sempat muncul kesan, Megawati pilih kasih. Megawati memanjakan Rustri yang sama-sama perempuan. Lagi-lagi Rustri. Lagi-lagi Rustri. Karena jika dilihat secara hirarkis, orang yang lebih layak direkomendasikan harusnya adalah Ketua DPD PDI-P Jawa Tengah Murdoko, yang telah berkeringat atau berdarah-darah membangun partai di Jawa Tengah.
Namun kesan itu segera lenyap. Karena Murdoko tidak melakukan perlawanan. Ia legowo, sendiko dawuh. Sami’na wa athon’na terhadap keputusan partai. Baginya, dipercaya oleh partai untuk menjabat Ketua DPRD Jawa Tengah saja sudah disyukuri. Ia memegangi prinsip hidup “Jabatan tidak untuk diminta-minta. Tapi begitu diberi jabatan, siap melaksanakan dengan penuh tanggung jawab.”
Tanggal 5 Maret 2013 menjadi awal perubahan sikap Rustri terhadap orang yang dikaguminya, Megawati. Ia merasa diperlakukan tidak seperti biasanya. Selama tiga kali pilkada, ia selalu direkomendasikan Megawati untuk maju sebagai calon. Tahun 2013, dianggapnya sebagai saat yang tepat untuk memimpin Jawa Tengah, apalagi posisinya saat ini berada di level H2. Tinggal selangkah lagi menghuni Wisma Perdamaian. Rasa pede-nya cukup tinggi.
Namun, kali ini Megawati menunjuk Ganjar Pranowo, anak muda berusia 45 tahun, ganteng cerdas kelahiran Tawangmangu Karanganyar. Alumni Fakultas Hukum UGM ini sejak tahun 2004 sampai sekarang menjadi Anggota DPR dari PDI-P. Wajahnya tidak terlalu asing karena sering muncul di telivisi, apalagi saat pilkada DKI Jakarta, ia cukup rajin tampil di media sebagai tim sukses Jokowi.
Memasuki hari kedua kampanye Pilkada Jawa Tengah 2013 hari ini, Rustri belum juga menunjukkan dukungannya kepada partai yang membesarkannya, PDI-P. Sepertinya ia sakit hati dan kecewa sampai-sampai ia kehilangan kenegarawanannya dan loyalitasnya kepada partai yang telah merekomendasikannya sebagai Bupati Kebumen dua periode dan Wakil Gubernur Jawa Tengah.
Rustri beralasan, diamnya selama ini sebagai bentuk solidaritas terhadap pendukungnya. Ia tidak mau menyakiti perasaan pendukungnya yang kecewa karena PDI-P tidak merekomendasikannya.
Bahkan, Rustri pun sudah berani mengkritik mekanisme rekomendasi yang selama ini berlaku, dianggapnya tidak demokratis karena hanya menjadi urusan “Orang Atas”, yang itu belum tentu sesuai dengan kehendak masyarakat dibawah.
Kritik ini sungguh aneh. Kenapa baru sekarang Rustri mengkritik sistem yang sudah berlaku bertahun-tahun di partai, setelah rekomendasi tidak sesuai dengan kehendaknya? Apakah pengertian demokratis adalah memberikan rekomendasi kepadanya?
Sebagai lulusan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Soedirman (Unsoed) Purwokerto, seharusnya Rustri paham apa itu demokrasi. Mekanisme rekomendasi telah menjadi kesepakatan dalam partai sebagai rule of game, aturan main. Kesepakatan itulah demokrasi. Dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Rakyat dalam hal ini warga PDI-P telah memercayakan wakil-wakilnya yang duduk di DPC, DPD dan DPP untuk merumuskan AD/ART dalam Munas, termasuk tentang pencalonan kepala daerah.
Untuk memperjelas hal ini, bisa dilihat kasus Pilkada Pati tahun 2011. Saat itu rekomendasi DPP PDI-P jatuh kepada Imam Suroso, anggota DPR dari PDI-P. Namun rekomendasi itu dikesampingkan oleh DPC. Ketua DPC PDI-P Pati Sunarwi malah mencalonkan dirinya sendiri sebagai Calon Bupati berpasangan dengan Tejo Pramono. Ketua DPRD Pati itu berdalih, bahwa aturan KPUD Pati hanya menyebutkan, pencalonan dari partai dianggap sah jika ditandatangani oleh ketua dan sekretaris DPC. Jadi, tidak perlu menyertakan rekomendasi partai.
Dalam pilkada yang digelar tanggal 23 Juli 2011, pasangan Narwi-Tejo meraih posisi kedua, dari enam pasangan calon yang ikut berkompetisi. Karena tidak ada yang memperoleh 30 % suara, maka KPUD Pati menetapkan peraih suara pertama dan kedua untuk berlaga kembali pada 10 September 2011. Tapi apa yang terjadi kemudian?
Belum sempat putaran kedua dilaksanakan, Mahkamah Konstitusi (MK) atas gugatan Imam Suroso, memutuskan bahwa keikutsertaan Sunarwi dalam pilkada Pati adalah tidak sah, karena rekomendasi partai tidak diberikan kepadanya tetapi kepada Imam Suroso. MK memerintahkan supaya Pilkada Pati diulangi dengan mengganti calon PDI-P dari Sunarwi ke Imam Suroso.
Jadi, sistem rekomendasi PDI-P itu juga diakui oleh negara, yang dalam hal ini MK sebagai lembaga negara pengawal konstitusi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H