Mohon tunggu...
Nuril Khamida
Nuril Khamida Mohon Tunggu... Lainnya - A learner

You can do it, rill !

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Pembatalan Perkawinan dalam Hukum Positif

30 Mei 2023   06:15 Diperbarui: 30 Mei 2023   07:46 66
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Perkawinan adalah ikatan sosial atau ikatan perjanjian hukum antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan untuk waktu yang lama. Perkawinan adalah hubungan permanen antara dua orang yang diakui sah oleh masyarakat yang bersangkutan yang berdasarkan atas peraturan perkawinan yang berlaku. Menurut UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam Islam, perkawinan adalah suatu hal yang sangat penting dan utama, karena melalui ikatan inilah seorang laki-laki dan seorang wanita membentuk wadah yang disebut keluarga, dengan itu mereka dapat menemukan kebahagiaan, ketenangan, serta cinta dan kasih sayang, suatu keluarga yang terintegrasi

Perkawinan adalah ikatan suci antara dua individu yang saling berkomitmen untuk hidup bersama sebagai pasangan suami istri. Namun, dalam beberapa kasus, terdapat situasi di mana perkawinan tersebut tidak dapat dipertahankan dan perlu dilakukan pembatalan. Pembatalan perkawinan merupakan proses hukum yang melibatkan pembatalan ikatan perkawinan yang telah sah menurut hukum.

Pembatalan perkawinan diatur dalam beberapa peraturan perundang-undangan di Indonesia, yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW), Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dan pada Pasal 37 PP 9/1975 dijelaskan bahwa pembatalan perkawinan atau batalnya perkawinan hanya dapat diputuskan oleh pengadilan. Dilanjutkan dalam bagian penjelas, ketentuan pasal tersebut dibuat mengingat bahwa pembatalan suatu perkawinan dapat membawa akibat yang jauh baik bagi pasangan dan keluarganya. Menurut Pasal 19 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, pernikahan yang dilakukan oleh orang yang belum mencapai usia 16 tahun atau belum mencapai usia 19 tahun dan tidak mendapat persetujuan dari orang tua atau wali sah, dapat dibatalkan. Selain itu, pernikahan yang dilakukan oleh orang yang masih terikat perkawinan dengan orang lain, pernikahan yang dilakukan dengan paksa, dan pernikahan yang dilakukan oleh orang yang mengalami gangguan jiwa juga dapat dibatalkan.

Pembatalan perkawinan memiliki perbedaan mendasar dengan perceraian. Dalam proses perceraian, perkawinan diakhiri secara hukum karena adanya permasalahan dan perselisihan antara suami dan istri. Sementara itu, pembatalan perkawinan mengacu pada situasi di mana perkawinan tersebut dianggap tidak sah atau tidak berlaku menurut hukum. Dalam banyak sistem hukum positif, terdapat beberapa alasan yang dapat menjadi dasar pembatalan perkawinan.

Adapun prosedur pembatalan pernikahan dengan tata cara atau prosedur pengajuan pembatalan pernikahan diatur dalam Pasal 38 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. Pengajuan pembatalan pernikahan harus dilakukan ke pengadilan agama dan harus disertai dengan alasan yang jelas dan bukti-bukti yang kuat. Berikut adalah prosedur pembatalan pernikahan secara lengkap:

  • Pengajuan permohonan pembatalan pernikahan harus dilakukan ke pengadilan agama. Permohonan harus disertai dengan syarat-syarat berkas, alasan yang jelas dan bukti-bukti yang kuat
  • Setelah permohonan diterima, pengadilan agama akan mengadakan sidang untuk memeriksa bukti-bukti dan mendengarkan keterangan dari kedua belah pihak.
  • Jika pengadilan agama menemukan alasan yang cukup, maka pengadilan agama akan mengeluarkan putusan yang menyatakan bahwa pernikahan tersebut dinyatakan tidak sah.
  • Setelah pernikahan dinyatakan batal, maka segala akibat hukum yang timbul dari pernikahan tersebut dianggap tidak pernah ada. Hal ini berarti bahwa harta bersama yang diperoleh selama pernikahan harus dibagi sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.

Dalam kesimpulannya, prosedur pembatalan pernikahan harus dilakukan ke pengadilan agama dan harus disertai dengan alasan yang jelas dan bukti-bukti yang kuat. Setelah permohonan diterima, pengadilan agama akan mengadakan sidang untuk memeriksa bukti-bukti dan mendengarkan keterangan dari kedua belah pihak. Jika pengadilan agama menemukan alasan yang cukup, maka pengadilan agama akan mengeluarkan putusan yang menyatakan bahwa pernikahan tersebut dinyatakan tidak sah.

Kemudian akibat hukum pembatalan pernikahan yaitu setelah pernikahan dinyatakan batal, maka segala akibat hukum yang timbul dari pernikahan tersebut dianggap tidak pernah ada. Hal ini berarti bahwa harta bersama yang diperoleh selama pernikahan harus dibagi sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Selain itu, anak yang lahir dari pernikahan yang dibatalkan dianggap sebagai anak di luar nikah dan harus ditentukan statusnya melalui pengadilan. Dalam kesimpulannya, pembatalan pernikahan adalah tindakan pengadilan yang menyatakan bahwa ikatan pernikahan yang telah dilakukan itu tidak sah. Pembatalan pernikahan diatur dalam beberapa peraturan perundang-undangan di Indonesia, yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW), Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Prosedur pengajuan pembatalan pernikahan harus dilakukan ke pengadilan agama dan harus disertai dengan alasan yang jelas dan bukti-bukti yang kuat. Setelah pernikahan dinyatakan batal, maka segala akibat hukum yang timbul dari pernikahan tersebut dianggap tidak pernah ada.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun