"Musik adalah bahasa ekspresi manusia yang masih harus diterjemahkan, emosi saja tidak cukup untuk menerangkan musik."-Immanuel Kant.Â
Dalam kutipan tersebut, Kant menerangkan bahwa musik adalah ekspresi jiwa manusia, dan emosi saja tidak cukup untuk menterjemahkan musik yang kita dengar, ditambah lagi kepentingan golongan yang meracuni pikiran membuat kita semakin kabur untuk melakukan tafsir-tafsir terhadap musik.
Belakangan ini dunia permusikan Indonesia dihebohkan dengan adanya Rancangan Undang-Undang (RUU) di dalamnya memuat 'pasal karet' yang mengancam kebebasan dalam  bermusik.Â
Salah satu pasal yang dianggap membelenggu kebebasan oleh pelaku musik ialah Pasal 5 yang berbunyi "dalam melakukan proses kreasi, setiap orang dilarang menista nilai agama, mendorong khalayak umum melakukan tindakan melawan hukum, membawa pengaruh negatif budaya asing, hingga merendahkan martabat manusia". Dilanjutkan dengan Pasal 50 yang berisi ancaman pidana bagi pihak yang melanggar Pasal 5 tersebut.
Kita semua tahu dan telah melihat dari yang telah berjalan, dimana pasal tentang 'Penodaan Agama' agaknya telah beralih fungsi dari pasal untuk menghukum pelaku penodaan agama menjadi pasal untuk menjerat yang lemah, dan pasal tersebut menjadi permainan politik masa untuk menusuk yang tidak sejalan.
Hal tersebut akan dirasakan pula oleh pelaku musik jika RUU tersebut telah berlaku. Dimana kebebaan dibelenggu, kaum proletar yang menyalurkan aspirasi lewat musik akan semakin tertindas, industri musik indie akan semakin terberangus oleh pelaku kapitalisme yang mengatasnamakan musik.
Dengan adanya ancaman tersebut, musisi Indonesia membentuk suatu gerakan yang dinamai "Koalisi Nasional Tolak RUU Permusikan". Gerakan tersebut bersisi pelaku musik dari musisi hingga penikmat musik.Â
Dari beberapa musisi yang tergabung dalam gerakan tersebut ialah Danilla Ariyadi, Stephanus Adjie (Down For Life), JRX (Superman Is Dead), Jason Ranti, dan masih banyak musisi yang tergabung dalam gerakan tersebut untuk satu tujuan menolak bungkam.
Dalam akun intagram Jason Ranti (@jasonranti), ia memberi caption yang menggambarkan reaksi protes damun dengan gaya khas kocak-nya, "Lalu bagaimana jika akuh ingin membuat lagu #CINTA yang Provokatif ??? Dan bagaimana mungkin akuh membuat lagu yg merendahkan harkat seorang koruptor (misalnya) yg mana jelas jelas sudah rendah harkatnya?" ujarnya.
Indonesia mengalami kemunduran kebebasan bermusik di mana kala itu Koes Bersaudara pada akhirnya dipenjara karena pelarangan musik Rock n' Roll pada masa pemerintahan Soeharto, pada rezim yang sama bang Iwan Fals sempat diinterogasi oleh militer selama 12 hari dan terjerat aturan wajib lapor selama 2 bulan karena lagu yang berjudul 'Demokrasi Nasi' dan 'Mbak Tini'.
Bagaimana bisa suatu aspek (ekspresi manusia) yang berdasar tentang nilai kebebasan dibatasi dan diatur oleh penguasa?. Dalam pemikiran tokoh filsafat barat Friedrich Neitzche berpendapat bahwa "Hanya musik yang memberikan arti dalam hidup manusia. Musik dapat menjadi tempat pelarian sementara manusia dari kenyataan hidup". Â
Jika makna dalam kehidupan direnggut kebebasan-nya dan tempat pelarian akan hidup yang penuh kemunafikan ini direnggut, mungkinkah kehidupan yang kita jalani menjadi hampa tanpa distorsi?.
Akankah dengan berlakunya RUU Permusikan adalah awal dari era kemunduran kembali ke masa-masa otoriter, atau RUU tersebut akan gagal dengan gerakan yang cukup signifikan oleh masa yang peduli dengan kebebasan bermusik. Mari kita bantu melepas belenggu yang mengancam musisi Indonesia dengan turut serta menandatangani petisi yang disediakan oleh musisi-musisi tersebut, menyuarakan penolakan pada sosial media yang kalian miliki, serta usaha-usaha kecil lain-nya untuk simbol reaksi terhadap RUU tersebut.
Hanya ada satu kata, LAWAN ... !!!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H