Mohon tunggu...
Nurilah Firdayanti
Nurilah Firdayanti Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Ilmu Komunikasi

Aku Mahasiswa yang menyukai hal-hal baru

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Papua Menjadi Korban Rasisme dan Diskriminasi di Negaranya Sendiri!

5 Januari 2022   12:40 Diperbarui: 5 Januari 2022   13:33 12140
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Aksi Papuan Lives Matter 

    

Rasisme adalah perbedaan perilaku dan ketidaksetaraan berdasarkan warna kulit, ras, suku, dan asal-usul seseorang yang membatasi atau melanggar hak dan kebebasan seseorang. Mulai dari hinaan dan stereotipe terhadap warna kulit dan bentuk fisik, diskriminasi di sekolah, tempat kerja, pengadilan, hingga intimidasi oleh aparat keamanan, banyak orang di seluruh dunia didiskriminasi hanya karena memiliki perbedaan.  

                                                                                                             

Peneliti Papua dari Georgetown University, Amerika Serikat, Veronika Kusumaryati menyebut kasus rasisme terhadap Orang Asli Papua (OAP) selalu berulang. Banyak sekali kasus rasisme dan diskriminasi terhadap Orang Asli Papua atau OAP di Indonesia padahal notabennya Indonesia adalah Negara yang terkenal dengan suku, ras, adat, agama dan budaya yang beragam serta toleransi yang tinggi. Namun kenyataanya kasus rasisme dan diskriminasi terhadap Orang Asli Papua (OAP) di Indonesia tidak bisa di hindari bahkan kejadian tersebut selalu terulang. Diantarannya kasus rasisme dan diskriminasi terhadap Orang Asli Papua (OAP).

kasus rasisme terjadi pada Obby Kagoya yang merupakan mahasiswa asal Papua yang berkuliah di Universitas Respati Yogyakarta dan menjadi korban siksaan polisi Indonesia karena dia di salahkan atas sikapnya yang melawan polisi ketika adanya pengepungan oleh aparat di Asrama Mahasiswa Papua,Yogyakarta.Setelah ia disalahkan oleh aparat polisi, ia dibawa dan disiksa oleh polisi dengan cara tubuhnya dibanting,lehernya diapit oleh siku,diborgol,hidungnya dicokok, dan tidak hanya itu saja setelah ia disiksa seperti itu ia masih ditahan dan dimasukan ke penjara selama 4 bulan tanpa adanya pembenaran.Lebih parahnya lagi setelah ada bukti foto yang tersebar luas,para aparat polisi mengklaim tidak adanya perlakuan seperti itu di TKP dan bilang bahwa bukti foto tersebut adalah hoax dalam konferensi persnya.

Ada juga kasus Tasya Marian dari Wamena menceritakan sedikit kisah pilunya berjuang untuk beradaptasi di Jakarta. Beberapa toko enggan melayaninya dengan baik, kamar kos yang penuh tak bisa terima orang Papua, teman - teman kuliah yang menutup hidung ketika mahasiswa Papua lewat, pemakan babi mentah, dan lain - lain. Padahal ia sudah membuka diri untuk berteman dengan mahasiswa lainnya namun tak membuahkan hasil. Hal itu membuatnya cenderung memilih untuk berkumpul bersama mahasiswa Papua lainnya.

aksi rasis dan diskriminatif terhadap warga Papua ini sudah tertanam di dalam diri anak-anak Indonesia sejak dini lewat konstruksi orang Papua yang disuguhkan melalui media popular. Melalui film, tayangan televisi dan buku teks sekolah, negara melanggengkan sikap rasis terhadap warga Papua dalam diri anak.

Rasisme dalam film

Film, tayangan televisi, dan buku sekolah merupakan merupakan instrumen penting dalam membangun kesadaran anak. Wening Udasmoro, ahli bahasa dari Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta, mengungkapkan bahwa anak adalah peniru ulung. Melalui pengalaman kesehariannya, mereka mengamati dan meniru hal-hal yang ditonton dan dibaca. Keseharian anak yang dekat dengan media populer berpengaruh dalam membentuk kesadaran, tingkah laku, dan karakter mereka.

Misalnya film Denias, Senandung di Atas Awan, yang merupakan salah satu contoh film anak yang bercerita tentang anak Papua. Film tersebut masih saja menggambarkan citra anak-anak Papua yang primitif, terbelakang, miskin, dan cenderung suka berkelahi.

Gambaran yang penuh stereotip juga akan mudah kita temui dalam beberapa film anak bertema Papua. Stereotip senada juga ditemukan dalam serial drama remaja Diam-Diam Suka di salah satu televisi swasta. Serial tersebut menggambarkan bahwa orang Papua itu bodoh, aneh, dan primitif.

Rasisme dalam buku teks

Setelah era Reformasi, buku teks pelajaran anak berusaha menghadirkan lebih banyak keragaman Indonesia. Buku teks SD (Sekolah Dasar) yang dulu hanya didominasi oleh nama Budi dan Ani kini, kini juga menghadirkan tokoh Edo yang merepresentasikan Papua.

Sebuah penelitian menjelaskan bahwa meski etnis Papua sudah sering hadir dalam buku teks SD, tetapi relasinya dengan figur yang lain tetap saja inferior. Ketika disandingkan dengan etnis lain, etnis Papua masih dianggap lebih rendah dan dianggap sebagai pelengkap saja.

Gambaran di atas menegaskan betapa rasis dan diskriminatifnya tontonan dan bacaan tentang Papua yang disuguhkan untuk anak. Imajinasi Papua yang primitif, bodoh, miskin, dan hal-hal negatif lainnya sudah terinstitusionalisasi dalam film, tayangan televisi dan buku sekolah.

Representasi dalam bacaan maupun tontonan tentang Papua yang kerap kali muncul dalam buku, televisi, dan film bukan sesuatu hal remeh dan hanya dipandang sebatas hiburan. Kualitas bacaan dan tontonan tersebut mempunyai implikasi pada masa depan imajinasi anak-anak Indonesia.

Sikap rasis dan diskriminatif tersebut didorong oleh sikap superior pembuat dan pencipta teks media yang dilegitimasi oleh Negara. Legitimasi tersebut menunjukkan kegagalan negara dalam memahami keinginan masyarakat Papua. Negara sering kali absen dalam memperhatikan banyak aspek kehidupan orang Papua, baik soal pelayanan kesehatan, pendidikan, kesejahteraan, dan hal-hal penting penting lainnya.

Referensi:

Setiyawan, Radius. 2020. "Rasis sejak dini: temuan diskriminasi dalam tontonan dan bacaan anak tentang Papua", https://theconversation.com/rasis-sejak-dini-temuan-diskriminasi-dalam-tontonan-dan-bacaan-anak-tentang-papua-142164, di akses pada 29 Desember 2021 pukul 12:45.

Amnesty. 2021. " Rasisme dan HAM", https://www.amnesty.id/rasisme-dan-ham/, di akses pada 29 Desember 2021 pukul 11:55.

Armiwulan, Hesti. 2015. "DISKRIMINASI RASIAL DAN ETNIS SEBAGAI PERSOALAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA", Fakultas Hukum Universitas Surabaya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun