Saya bukanlah anak tunggal, masih ada kakak dan dua adik, namun hanya saya yang laki-laki. Mungkin itu sebabnya Ibu selalu "ngeman" saya apalagi katanya saya ini anak mahal karena sering sakit-sakitan sejak kecil. Ketika itu jika bukan Dokter "H" yang memeriksa, saya bakal lama sakitnya. Dokter itu sangat terkenal di kota saya karena "manjur" dan tentu saja mahal. Padahal kakak dan adik-adik bila sakit cukup berobat ke Puskemas.
Kasih sayang Ibu kepada saya pada titik tertentu membuat saya merasa risih. Apalagi Ibu sering menunjukkan sayangnya kepada saya saat ada teman-teman.
Pernah ketika saya bersama teman-teman mengerjakan tugas kelompok di rumah, Ibu mendadak menyuruh saya mandi , katanya sudah dimasakin air. Setelah itu saya disuruh makan karena sudah dimasakin soto ayam kesukaan saya.
"Ayip tidak boleh telat makan karena harus mimik obat," Ibu memintakan ijin saya kepada teman-teman.
Lihatlah Ibu memanggil saya "Ayip" padahal saya sudah tidak cedal dan bisa dengan jelas mengatakan "Syarif". Ibu juga bilang "mimik" bukan minum. Kata yang artinya minum tapi biasanya ditujukan untuk anak kecil. Saya sudah berseragam putih abu-abu ketika itu.
Tentu saja teman-teman langsung meledek saya ."Cieee, Ayip anak Mama."
Saya pernah memprotes dengan mengatakan bahwa saya sudah dewasa, tidak perlu diingatkan untuk mandi atau minum obat. Dan selalu panggil saya, Syarif.
"Oala Nang, anak ibu sudah dewasa, tapi Ibu tetap khawatir sampai kamu sudah mentas. Menikah dan punya anak, baru Ibu tidak khawatir," jawab ibu.
Ternyata  saya tidak kunjung menikah ketika kakak dan adik-adik saya sudah menikah, maka Ibu tidak berhenti mengkhawatirkan saya.
Bagi keluarga saya yang sangat Jawa, menikah itu kewajiban. Ibu selalu menyuruh saya agar segera "mentas". Mungkin bagi beliau saya masih terjebak dalam kubangan kejombloan.
Berbagai alasan sudah saya buat seperti menunggu pekerjaan mapan dulu. Setelah mapan saya pengin punya rumah sendiri. Setelah itu saya pengin punya mobil. Ketiganya sudah saya dapatkan, saya kehilangan alasan untuk mengelak.
 Saya bukan tak ingin menikah. Saya pun sudah capek yang namanya pacaran atau cari pacar. Saya sudah tidak mencari pacar lebih mencari jodoh. Namun kekhawatiran Ibu selalu menghantui saya. Pernah saya pacaran dengan gadis Sunda. Rupanya Ibu mempunyai strereotip negative terhadap perempuan Sunda. Katanya orang Sunda itu tidak pandai memegang uang, terlalu gemar berdandan, tidak pandai memasak, tidak bisa bersih-bersih rumah, tidak sopan dan sebagainya.
Beberapa kali pacaran lalu putus membuat saya jengah. Sementara di sisi lain, Ibu selalu mendesak agar saya secepatnya menikah supaya "dadi wong".
Orang Jawa mengenal istilah "dadi wong" yang artinya "menjadi orang". Maksudnya? Tidak ada definisi yang pasti tentang istilah ini. Satu kunci tentang "dadi wong" adalah mandiri. Mandiri secara ekonomi, social dan psikologi.
Mandiri secara ekonomi artinya mampu mencukupi kebutuhan sandang, pangan dan papan. Bisa hidup tanpa bantuan orang lain. Biarpun masih ngontrak asal dibayar dari hasil keringat sendiri, artinya sudah mandiri.
Mandiri secara sosial berarti harus pandai bergaul dan menyesuaikan diri dengan lingkungan. "Kudu pinter srawung". Harus bisa menempatkan diri dengan baik dengan lingkungan yang artinya juga mandiri secara psikologis. Tidak sering curhat dan sambat dan yang paling penting jangan merepotkan orang lain.
"Dadi wong" baru disematkan kepada orang yang sudah menikah. Bagi orang Jawa, menikah adalah tanda kedewasaan, karena sudah berani memikul tanggung jawab. Lelaki dan perempuan yang sudah menikah dianggap sudah merasakan suka dan duka kehidupan. Sedangkan yang bujangan dianggap baru merasakan sukanya saja.
"Bagaimana Le? Apa lagi yang kamu pikirkan? Pekerjaan sudah mapan, rumah sudah ada, mobil juga sudag bagus," kata Ibu di suatu sore.
Senja yang indah dengan warna jingga di ufuk mendadak menjadi kelabu karenanya.
"Apa perlu ibu carikan calonnya?" Ibu makin mendesak. Beliau tahu sudah beberapa lama saya tidak menggandeng perempuan.
"Sebutkan ciri-ciri istri idamanmu, nanti Ibu yang mencarikan,"
Saya menelan ludah. Tenggorokan tiba-tiba terasa kering.
"Beneran Bu?"
Beliau mengangguk
"Saya minta delapan syarat saja Bu."
Ibu mendekati saya. Netranya berbinar. "Sebutkan, Le"
" Istri yang saya idamkan :
1. Agamanya taat
2. Dari keluarga terhormat
3. Cantik terawat
4. Tubuhnya sehat
5. Kepribadiannya memikat
6. Dapat menjaga amanat
7. Dapat menjaga rahasia rapat-rapat
8. Rapetnya rapat"
Sekian
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI