Menikah membuat saya pintar.  Dulu, saya hanya bisa merebus mie instan. Sekarang, segala masakan bisa  saya buat. Dari yang sederhana semacam pecel yang bumbunya tinggal dituangin air,  sampai yang kompleks semacam rendang.  Tidak percaya? Anak dan suami saya yang tumbuh kembangnya ke samping bisa menjadi bukti.
Menikah juga membuat talenta saya yang multitasking berkembang dengan sangat baik. Saya bisa memasak nasi sambil mencuci piring. Menyapu  lantai yang berdebu sambil menggoreng tahu.  Mencuc baju sambil menyanyikan lagu rindu. Eh ...
Melihat rumah bersih dan makanan yang tersaji habis sudah bisa membuat saya bahagia. Hanya satu yang membuat saya bad mood. Laundry alias cucian.
Cucian kotor yang  menumpuk membuat pikiran saya kacau. Perlu waktu panjang untuk menyelesaikannya. Dari mencuci, menjemur, menurunkan dari jemuran, menyetrika, melipat lalu menyimpan dalam lemari. Malam selesai, pagi-pagi  si cucian sudah datang lagi. mengajak saya berkencan. Capek deh!
Sebelum menikah, saya mencuci cukup seminggu sekali. Manual, pake tangan. Saya merasa seksi ketika mencuci, apalagi saat menjemur  dengan mengibaskan  baju basah. Wow, kayak  film  India saja.
 Setelah menikah, tangan saya sering pegel dan panas karena terkontaminasi dengan detergen. Jadi saya minta dibelikan mesin cuci. Enak bisa disambi mengerjakan yang lain. Dan nggak perlu khawatir bau apek karena cucian nggak kering di musim hujan. Ada pengeringnya!
Suami  mau membantu mencuci tapi tidak pernah mau menjemur.  Tak mengapa, toh sudah dibantu mesin pengering jadi prosesnya lebih singkat. Jika sinar matahari  sangat bersahabat, tidak sampai setengah hari  jemuran sudah bisa diangkat. Tetapi saat musim penghujan, jemuran saya biarkan saja di luar. Gak ada tempatnya di dalam rumah. Jadinya cucian kering  sampai dua hari. Bau, dong. Apek. Sudah disemprot parfum ,masih bau juga.
Idealnya setelah diangkat dari jemuran, baju dan lain-lain itu dilipat langsung supaya tidak keriting. Tetapi karena saya suka menunda pekerjaan, jadilah cucian itu berakhir di keranjang sampai bertumpuk-tumpuk lalu menjelma menjadi gunung kecil.  Percayakah kalian jika ternyata gunung itu bisa berkembang biak dengan cepat? Dari gunung  balita yang tingginya sebatas  dengkul, ia akan berkembang menjadi gunung anakansetinggi pinggang saya.  Tanpa diapa-apakan.
 Gunung  itu bisa meledak menjadi serak-serak ketika suami  atau anak mencari sesuatu. Siapa lagi yang meledakkan jika bukan saya. Mereka tinggal  berteriak. "Mana baju yang ini?" Menyebalkan!
Apalagi ketika mereka minta baju yang akan dipakai dalam keadaan licin. Duh, mengapa  pula ada benda yang namanya setrika?
Saya termasuk penggiat " Gearakan Tanpa Setrika".  Menyetrika itu  membosankan, lama dan membuat berkeringat. Ini adegan panas yang saya hindari.
Pernah saya konsisten menyetrika setiap weekend.  Saya melakukannya saat  malam hari, ketika yang lain sedang beristirahat. Tujuannya agar rapi dan tidak dihinggapi kuman.  Kemudian saya tahu ternyata tahap menjemurlah yang paling penting dalam mematikan kuman. Kalau soal rapi, saya bisa kok membuat lipatan yang rapi tanpa disetrika.
Begitulah serenada si cucian. Apalagi jika ditambah bumbu kekesalan ketika cucian tak kunjung bersih karena terkena noda yang sulit dihilangkan.
Melihat saya yang bad mood karena cucian, suami pernah mengusulkan untuk mengirim ke usaha laundry. Sekali dua kali tak apa=apa, lama-lama bisa jebol dompet ini. Apalagi suami tidak menambah jatah untuk laundry. Bangkrut, dong!
Dari pengalaman itu dan setelah bertanya sana-sini kepada yang paling tahu sedunia, Google, saya mempunyai beberapa tips untuk berdamai dengan cucian.
 Kebaskan cucian sebelum dijemur
Cucian kan kusut ketika keluar dari mesin cuci. Jadi ringankan tangan untuk mengibaskannya. Lakukan satu persatu ya, jangan bersamaan. Proses ini akan memudahkan  kita untuk melipat atau mensetrika (jika mau).
Angkat lalu lipat.
Intinya cucian yang kering jangan diuwel-uwel, jangan langsung  dimasukkan ke dalam keranjang agar tidak kembali kusut.  Percayalah dengan melakukan ini dua pertiga  proses laundry terselesaikan. Untuk kaos atau bahan yang tidak mudah kusut, proses selesai sampai di sini. Tinggal baju kerja semacam seragam yang masih perlu sentuhan setrika.
 Setrika baju kerja
Hanya baju kerja yang saya setrika. Saya nggak mau dong suami kelihatan kucel karena baju seragamnya kusut. Eh, ada lagi yang harus disetrika yaitu baju khusus untuk kondangan. Yang ini biasanya saya setrika sekali lagi jika mau berangkat. Â Iya, Â 'kan harus jaim.
Setrika kerudung/jilbab ketika akan digunakan saja
Saya kurang bisa melipat kerudung dengan rapi kecuali yang pashmina atau bentuk segi empat. Â Karena tidak elok memakai kerudung yang kelihatan lipatannya, saya menyetrika jika akan dipakai saja. Namun untuk kerudung dari kaos atau spandek jangan disetrika ya.
Atur isi lemari dengan baik
Kunci  pertama untuk menata lemari adalah jangan isi lemari terlalu penuh. Pakaian akan sulit bernapas, sulit diambil dan sulit ditata kembali.
Pakaian kerja, jaket dan gamis biasanya saya gantung. Pakaian berbahan kaos atau yang tidak mudah kusut dilipat. Ada orang yang menata pakaian berdasarkan warna supaya gampang memadupadankan. Kalau saya lebih suka berdasrkan jenisnya. Kaos, celana, kemeja, rok, dalaman, saya kelompokkan masing-masing. Tujuannnya agar mudah mencarinya, agar tidak tersesat, ketika mencari kaos masuknya di bagian celana. Gak nyambung!
Nah, itu 5 kiat meminimalisir stress akibat cucian. Saya sudah mencobanya. Alhamdulillah, sudah tidak ada gunung cucian di pojokan kamar.  Suami pun ikut senang karena  wajah saya yang selalu berseri-seri dan awet muda.
Selamat mencoba!
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI