Mohon tunggu...
Nurifah Hariani
Nurifah Hariani Mohon Tunggu... Guru - Guru yang suka membaca dan senang berkhayal

Guru di sebuah sekolah swata di kota Malang, sedang belajar menulis untuk mengeluarkan isi kepala, uneg-uneg juga khayalan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Salam dari Kami (Gurunya Anak-Anak)

17 Januari 2025   20:12 Diperbarui: 17 Januari 2025   20:12 31
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebentar lagi saya akan pensiun.

Sudah puluhan tahun saya menjadi guru.  Meski tidak mendapatkan tunjangan  sertifikasi  dari pemerintah, profesi inilah jalan ninja saya. Mengutip kalimat yang pernah disampaikan oleh Anies Baswedan ketika menjadi Mendikbud, menjadi guru bukanlah sekedar pekerjaan, melainkan pelukis masa depan. Menjadi guru bukanlah pengorbanan , melainkan sebuah pernghormatan.

Saya mengajar mata pelajaran yang namanya sering berubah, dulu Pendidikan Moral  Pancasila (PMP) berubah menjadi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn), berubah lagi menjadi Pendidikan Kewaganegaraan (PKn) dan sekarang pada Kurikulum Merdeka menjadi Pendidikan Pancasila. Disadari atau tidak pelajaran  ini menjadi  penyumbang nilai terbanyak  pada nilai raport. Tujuan pelajaran ini adalah mendidik anak-anak bangsa agar menjadi warga  negara yang baik, warga negara yang  cerdas dan siap menghadapi perkembangan jaman.

Kewajiban saya adalah menanamkan nilai-nilai Pancasila dengan cara ceramah, diskusi, memberi nasehat, memberi contoh ketauladanan, kedisiplinan secara nyata dan pembiasaan.  Meskipun demikian saya tidak mempunyai wewenang untuk menindak siswa yang melakukan pelanggaran seperti  waka kesiswaan yang jadi satpol PP nya sekolah. Jika ada pelanggaran yang dilakukan siswa maka yang bertindak adalah wali kelas yang biasanya  membujuk merayu siswa  agar mau kembali ke jalan yang benar. Langkah berikutnya adalah guru BK yang tugasnya merangkul dan melakukan langkah preventif agar siswa tidak melenceng dari fitrahnya. 

Namanya juga siswa, meskipun tak bosan-bosannya kami mengajarkankan nilai-nilai yang baik, toh mereka melakukan pelanggaran juga. Seperti terlambat, membolos, istirahat terlalu lama, berkata kasar, merusak fasilitas sekolah, mencuri, merokok, dan yang sejenisnya. Segala kemungkaran itu tentu saja tidak bisa kami diamkan.

Banyak cara yang kami lakukan menghadapi siswa yang melakukan pelanggaran. Mulai dari menegur  halus dengan  memasang  senyum termanis sambil meredam dada yang bergejolak. Lalu memberi nasehat agar siswa tidak mengulangi kesalahan yang serupa. Bila perlu dilanjutkan dengan memberi hukuman yang ditentukan dengan sangat hati-hati. Sebenarnya jika menuruti kata hati saya penginnya ngamuk saja. 

Menghadapi murid itu tidak sulit, saya bisa saja memulai sesi dengan marah-marah lalu diakhiri dengan  minta maaf  kepada mereka. Saya tidak malu untuk mmengakui bahwa sebagai manusia biasa saya bisa saja khilaf.

Yang lebih menguras energi adalah saat berhadapan dengan wali murid.  Ketika melakukan panggilan terhadap beliau-beliau yang terhormat itu saya harus mempersiapkan diri  dengan  ucapan-ucapan yang baku, formal dan santun menurut kaidah. Saya harus berlatih menahan diri, tidak boleh kasar, tidak boleh misuh  sambil mengumpulkan segala bukti pendukung agar tidak dianggap ngeprank.

"Kok bisa?"."

"Anak saya di rumah baik-baik saja, tidak pernah bikin ulah."

"Kenapa ada jam kosong?"

"Kenapa dihukum? Saya, orang tuanya tidak pernah menghukum."

"Ngapain gurunya kok sampai kecolongan?"

Itu hanya beberapa contoh dari protes wali murid.

Sebelum menjawab segala tudingan itu ijinkan saya ambil napas dulu. Hah! Baiklah. Bapak Ibu wali murid yang saya muliakan. Tadi pagi apakah Panjenengan sudah nyangoni anak  dengan senyum dan doa terbaik? Apakah Panjenengan sudah memastikan anak sampai di sekolah? Sepulang sekolah tahukah Panjenengan anak main dengan siapa? Pergi kemana? Sejak kapan Panjenengan tahu bahwa uang saku yang diberikan dibelikan rokok eceran?  Siapa pacar anak Panjenengan sekarang? Siapa mantan terakhirnya? Kemana ketika anak pamit untuk kerja kelompok?  Apa pasword hapenya?  Siapa saja yang ada dalam daftar kontaknya?

Bapak Ibu Wali Murid yang terhomat, jika Panjenengan bisa menjawab separuhnya saja , Panjenengan boleh menghujat kami.  Jika tidak, akui saja bahwa Panjenengan belum bisa  mendampingi  amanah dari Gusti Allah itu dengan maksimal, apalagi membentuk karakternya.

Apa yang Panjenegan pikirkan tentang kami? Guru sudah sejahtera, gajinya sudah banyak, mosok sih bikin anak pintar dan berakhlak saja tidak bisa? Lha terus Panjenengan masa bodoh menitipkan anak di sekolah dari pagi sampai sore.

Banyak orang tua siswa yang komplain tentang cara guru mendidik di sekolah. Rupanya pengalaman mengajari anak-anaknya pada masa pendemi sudah terlupakan. Mereka seenaknya bilang kami mendidiknya kurang tegas, kurang wibawa, terlalu lembek dan sebagainya.

Duh Pak/Bu kami harus sangat berhati-hati menghadapi  siswa. Dikasari lapor, kami bisa kena pasal. Dialusin gak mempan. Dikasih tinggal kelas kami digugat. Dikeluarkan dari sekolah, kami diperkarakan. Memangnya siapa yang mau berkorban masuk penjara demi kebaikan anak orang? Kami juga punya keluarga  Pak/Bu.

Perlakuan kami terhadap siswa tidak terpengaruh masalah uang sekolah. Apalagi sekarang ada pendidikan gratis yang malah membuat berkurangnya partisipasi orang tua. Semakin berkurang pemahaman bahwa pendidikan bukan hanya tanggung jawab kami. Pendidikan anak adalah tanggung jawab orang tua, guru dan masyarakat serta pemerintah tentunya.

 

Jadi begini Bapak/Ibu Wali Murid yang terhormat pada setiap kenakalan  anak. dua per tiganya adalah wujud kegagalan Panjenengan dan sepertiganya boleh dituduhkan kepada kami. Bukankah anak-amak itu bersama kami hanya selama 8 jam sehari? Selebihnya mereka bersama keluarga di rumah. Maka saya mohon dengan hormat ketika Panjenengan kami panggil ke sekolah perihal kenakalan anak-anak cobalah untuk legowo. Mari kita bersama-sama mencari jalan keluarnya. Percayalah kami para guru tidak ingin melihat anak-anak gagal. Meskipun nantinya mereka melupakan kami, guru tetap bangga melihat murid-muridnya berhasil dan sukses.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun