Ustadzah  Aminah sedang membaca doa penutup ketika terdengar suara gaduh di lantai dua. Suara berdebum keras beberapa kali seperti ada barang-barang yang saling bertumbukan.Sepi sebentar. Kemudian terdengar lagi. Kali ini diiringi suara tangisan seorang perempuan.
Di lantai bawah sedang ada pengajian ibu-ibu. Mama mertua sedang mendapat giliran ketempatan pengajian yang waktunya bersamaan dengan usia kandunganku hampir empat bulan. Maka jadilah acara ini "neloni", slametan tiga bulan kehamilan. Â Mama yang paling bersemangat , karena akan menjadi cucu pertamanya.
Suara itu memaksa Mama berdiri lalu memberi isyarat kepada Mas Ilham untuk melihat ke lantai dua. Sebelah tangan Mama mengenggam erat tanganku untuk menenangkan. Degup jantungku sudah berlompatan sementara tangan mengeluarkan keringat dingin.
Meskipun demikian, di depan ibu-ibu jamaah aku meniru Mama untuk tetap tenang dan tersenyum kepada semua yang hadir. Bersikap seolah tidak terjadi apa-apa. Dapat kulihat beberapa ibu jamaah tampak mengeriyitkan kening dan saling menyikut. Mungkin ingin bertanya namun merasa tak pantas. Sedangkan Ustadzah Aminah meneruskan doa seperti tidak ada apa-apa.
"Pergiiii...! Pergiiii...! Pergiiii...!" suara perempuan menjerit-jerit terdengar lebih jelas.
Ustadzah sontak menghentikan doanya, kepalanya langsung menoleh ke arah sumber suara. Ibu-ibu yang lain melakukan hal yang sama. Kedua tangan masih bertangkup namun perhatian tertuju ke lantai dua.
"Maaf ibu-ibu! Atma, anak saya sedang sakit. Dia sering meracau, terutama setelah kena phk di perusahaannya. Pangapunten, ini berkatnya monggo diambil satu-satu. Terima kasih atas doa dan dukungannya. Semoga Nurazmi, mantu saya ini sehat selalu serta bisa lancar dan gangsar sampai melahirkan ." kata Mama. Berkat segera dibagikan lalu aku bersama Mama berdiri di dekat pintu untuk menerima salam dari ibu-ibu jamaah. Kami tetap tersenyum, membungkam pertanyaan di kepala ibu-ibu jamaah.
Setelah semua ibu-ibu pulang, aku dan Mama  naik ke lantai dua. Terlihat Mbak Atma terduduk di lantai dengan memeluk lutut, kepalanya tertunduk, kedua bahunya terguncang, isak tangisnya terdengar memilukan. Sementara isi kamar sudah berantakan tidak karuan. Bantal dan guling terlempar ke sudut ruangan, meja kursi jumpalitan dan banyak barang tercecer di lantai.
"Kenapa?" tanyaku kepada Mas Ilham yang berdiri di sebelah pintu.
Suamiku itu mengedikkan bahu, sorot netranya menampakkan kekhawatiran. Mbak Atma saudara satu-satunya. Dialah alasanku dan suami tetap tinggal di rumah ini. Â
"Atma, kenapa Nduk?" Mama mengelus kepala Mbak Atma.