"Kok?"
"Belum ada indo*** saat itu, tetapi aku njajan apa pun GRATIS. TIS." Slamet berkacak pinggang, senyum licik terkulum di bibirnya. Saya mencium tanda-tanda jahanam ini.
"Kok bisa begitu?" Dahi Maki berkerut, alisnya tertumpuk di tengah dahi.
"Mau tahu? " Senyum Slamet mengembang. Ia seperti menertawakan keheranan kami.
"Iyalah, jangan menghalu kamu, Met!" Saya muak melihat senyumnya.
Slamet tertawa, bahunya berguncang-guncang saking gelinya, matanya pun  sampai tinggal segaris.
"Aku masih sekolah SMP saat itu.  Semuanya  GRATIS,  'kan yang membayar  bapakku."
SEMPRUL !!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H