Mohon tunggu...
Nurifah Hariani
Nurifah Hariani Mohon Tunggu... Guru - Guru yang suka membaca dan senang berkhayal

Guru di sebuah sekolah swata di kota Malang, sedang belajar menulis untuk mengeluarkan isi kepala, uneg-uneg juga khayalan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Angka Satu

13 Desember 2024   20:34 Diperbarui: 13 Desember 2024   20:34 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Suara musik dangdut membuatku terbangun. Lampu sorot yang berpendar-pendar terang membuatku mataku berkerjap. Kutatap gundukan-gundukan tanah yang terbentang di hadapanku, beberapa nama pada batu nisan bisa terbaca terkena sorotan lampu. Dari tempatku duduk dapat kulihat keramaian di seberang jalan, Pak Haji Dana mantu, hiburannya panggung musik dangdut. Mas Marjo, suamiku tak pernah melewatkan acara seperti itu. Genre musik populer tradisional Indonesia itu sudah mendarah daging dalam dirinya.

Selain suka musik dangdut, Mas Marjo suka memasak. Terpaksa awalnya, karena aku yang sering sakit sedangkan tiga anak kami senang makan. Dari sekedar sayur bening yang bumbunya diiris dan dicemplung-cemplung, ia bisa membuat rawon, soto atau pun rendang. Gampang, katanya. Toh ada bumbu jadi dan santan instan. Anak-anak senang dengan masakan ayahnya, badan mereka tumbuh subur, sehat dan sejahtera, berbeda jauh dengan badanku yang makin kurus digerogoti penyakit.

Suara musik terdengar bertalu-talu, dangdut versi ori sampai koplo. Sampai kudengar lagu Angka Satu yang sering dinyanyikan Mas Marjo. "Makan-makan sendiri, makan-makan sendiri, cuci baju sendiri, tidurku sendiri". Liriknya sedih tetapi suamiku menyanyikannya dengan riang, sambil memasak, sambil memainkan sothil, sambil menggoyang-goyangkan pinggul . Anak-anak biasanya menghindar jika ayahnya bertingkah seperti itu. "Geli," kata mereka. Sedangkan aku bisa terbahak-bahak sampai keluar air mata saking takjubnya dengan kelakuan gila lelaki yang sudah menikahiku dua puluh tahun itu. Sekarang pun aku tak bisa menahan tawa mengingatnya, hingga tawaku berubah menjadi tangis yang tak tertahankan. Air mata deras mengalir di pipi. Bayangan Mas Marjo memudar, hilang terbawa angin. Aku masih belum tega meninggalkannya, ketika diabetes merengutku kemarin sore.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun