Mohon tunggu...
Nurifah Hariani
Nurifah Hariani Mohon Tunggu... Guru - Guru yang suka membaca dan senang berkhayal

Guru di sebuah sekolah swata di kota Malang, sedang belajar menulis untuk mengeluarkan isi kepala, uneg-uneg juga khayalan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Razia

12 Desember 2024   09:42 Diperbarui: 12 Desember 2024   09:42 19
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Masha datang ketika Ustadz Danial sudah mulai memimpin doa istighosah. Amel beringsut memberinya tempat duduk di barisan paling belakang. "Miss Aya masuk kelas kita," bisik Masha yag sontak membuat telapak tangan Amel mendingin, kertas bacaan istighosah lepas dari pegangannya, luruh seperti daun kering yang terkena angin.Si ketua kelas yang judes itu merasakan jantungnya berdebar keras, konsentrasinya buyar,  pikirannya kalut. Bisikan Masha menyebar dengan cepat ke seluruh ruangan.  Senyumnya tipis melengkung di ujung bibir, ada perasaan lega melihat teman-teman yang biasanya meremehkannya itu sekarang menjadi pucat penuh kekhawatiran. Hanya teman-teman  di barisan depan yang masih lantang membaca sholawat, sebaris di belakangnya mulai resah, sedangkan barisan belakang sudah tidak terdengar suaranya. Mereka berbisik-bisik sambil melihat jarum jam di dinding yang sepertinya tak berdetak sekencang hari biasanya.

Setengah jam kemudian acara istighosah yang rutin diadakan setiap hari Jum'at selesai. Murid-murid  berlari kembali ke kelas. Banyak pertanyaan berkecamuk dalam pikiran mereka. Dan terjadilah ..."Oh, hpku," keluh Amel. Ia tidak menyangka ada razia hari ini. Dikiranya aman-aman saja toh sudah seminggu ini ia tidak menitipkan hp di kantor guru. Ribet alasannya. "Sialan, skincare ku diambil juga."pekik Zara. Ia rela tidak jajan berminggu-minggu agar bisa membeli skincare agar jerawat di wajahnya beranjak pergi.  Bimo meratapi komik manga yang baru separo dibacanya. Bibir Yayu monyong beberapa mili, tak henti-hentinya ia menggerutu karena  sisir sekaligus kaca mungilnya yang berwarna merah muda.  yang bentuknya hati  itu tak ada lagi di tasnya. "Parfumku juga gak ada," desah Ajeng.

Pundak Amel jatuh lunglai karena harus mengisi buku catatan pelanggaran, sedangkan hp baru boleh diambil dua minggu kemudian. Terbayang di pelupuk matanya, mamanya tertawa  mendapati Amel pulang tanpa hp. Kata mama, hp membuatnya jadi pemalas sekaligus pelupa. Jangankan disuruh , makan saja ia sering lupa karena keasikan main hp. Berbeda dengan Amel, Zara tidak rela skincare nya disita. Ia memohon agar bisa mendapatkan kembali kosmetiknya itu. "Oh Ibu Guruku yang cantik dan baik hati, lihatlah wajahku kusam terkena debu musim kemarau, jerawatku bermunculan karena wajahku butuh perawatan. Pliss Bu, Pliss!." Dan apa jawaban Bu Guru? "Jerawat itu normal. Muka kusam juga normal. Tetapi membawa kosmetik ke sekolah itu tidak normal, memangnya kamu mau nulis pake lipstik? Gak usah ayu-ayuan, ayuk cabuti rumput di halaman depan!"  Hari ini halaman bersih dari segala gulma. Dan wajah-wajah layu bertebaran di sudut-sudut kelas.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun