[caption id="attachment_356339" align="aligncenter" width="300" caption="Pentas Wayang Orang di Gedung wayang Orang Sriwedari ."][/caption]
Kecintaan orang Solo terhadap budayanya kian hari kian tumbuh, demikian pula terhadap salahsatu peninggalan nonbendawi, wayang orang. Bukti nyata adalah membludaknya sajian pertunjukan WOSBI (Wayang Orang Seribu Bintang) yang berlangsung beberapa hari di gedung RRI (Radio Republik Indonesia) Solo
Namun anehnya tidak banyak berubah jumlah penonton yang melihat wayang di Gedung Wayang Orang (GWO) Sriwedari yang menggelar pertunjukan wayang setiap malam kecuali hari Minggu. Gedung yang terletak di kompleks Taman Hiburan Rakyat (THR) Sriwedari tetap saja tidak terlalu banyak pengunjungnya, kecuali malam minggu. Dari kapasitas tempat duduk ada kurang dari lima prosen tempat duduk yang terisi penonton, bahkan kadang bisa dihitung dengan jari.
Kenapa bisa begitu? Padahal tontonan lain yang tidak malam minggupun bisa banyak pengunjungnya. Kalau dikatakan karena penonton tidak punya uang, mungkin kurang pas. Sebab harga tiket untuk live show itu cuma 3000 rupiah, tidak lebih mahal dari semangkuk bakso.
Tentu ada penyebabnya. Di era informasi serba instan ini jika tidak mengikuti akan ketinggalan zaman. Manajemen di Wayang Orang Sriwedari (WOS) tampaknya luput melihat ini. Padahal untuk melakukannya hanya diperlukan niat.
Media sosial yang ada dan tak berbayar jumlahnya tidak lagi tunggal dan itu bisa dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk promosi, penyebaran informasi maupun mengundang kecintaan terhadap Wayang Orang Sriwedari. Namun kenapa hal itu tidak dilakukan oleh pihak berwenang? Kenapa justru penggalangan dukungan dilakukan masyarakat dan bukan dimotori oleh instansi berwenang? Apakah mereka tidak cukup memahami cara berhubungan dengan masyarakat luas?
Apakah karena keberadaan WOS dibawah bendera Dinas Pariwisata seksi tertentu jadi terlalu kecil, jadi kekurangan personil untuk melakukan dukungan terhadap WOS? Marilah dibedah satu persatu dari sisi sajian. Tampilan fisik kostum maupun setting panggung sudah bisa dikatakan memadai. Kemampuan pemain juga tidak terlalu jelek, meskipun bagi yang memahami sangat terlihat bahwa penampilan yang disajikan itu kurang latihan. Lha ternyata mereka merasa sudah profesional sehingga tidak perlu lagi latihan.
Bayangkan saja mereka rata- rata hadir pukul tujuh malam di tempat pentas. Setidaknya itu yang diungkapkan oleh salah seorang pemain kepada penulis. Saat itu juga sutradara mengecek siapa saja yang hadir, kemudian menunjuk pemain sesuai dengan skenario yang dia buat (sesuai jadwal). Sambil memakai kostum dan berdandan mereka mendengarkan pengarahan sutradara. Pukul delapan harus sudah siap tampil. Anehnya lagi setiap pemain itu dari rumah tidak tahu nanti akan berperan sebagai apa. Jadi semua dialog yang ada di panggung adalah spontanitas dari pemain. Apakah dengan begini bisa dijamin kualitas sajiannya?
Bahkan seniman yang benar-benar profesional selalu menyiapkan diri matang-matang untuk menghasilkan pertunjukan yang memuaskan penonton. Pertanyaannya kemudian kenapa begitu? Apakah karena tuntutan pentas setiap hari itu membuat mereka tidak sempat latihan? Apakah waktu siang hari tidak bisa dipergunakan untuk latihan mengingat gedung wayang orang adalah gedung milik Pemkot Solo yang manajemen pengelolaannya juga berada satu atap dengan pertunjukan Wayang Orang. Kalau disebut tanggungjawab para pemain sebagai PNS. PNS memiliki jam kerja dari pukul 8 pagi hingga 4 sore atau delapan jam sehari. Sementara para pemain wayang orang hanya bekerja mulai pukul 7 malam hingga 10 malam, tiga jam !! Apakah ini tidak melanggar aturan, atau ada Perda khusus?
Semestinya jika dia sama dengan PNS lain (mengingat gajinya juga dengan penghitungan PNS)maka seharusnya mereka punya kewajiban berlatih selama lima jam setiap harinya dan tiga jam lainnya adalah pentas. Kenapa kalau gajinya sama kok kewajibannya tidak sama? Apakah tidak menimbulkan kecemburuan sosial dan bertolak belakang dengan rasa keadilan?
Kalau ada yang mengatakan seniman memang bayarannya tinggi, lha kenapa mereka memilih menjadi PNS disitu yang bayaran pentasnya sudah diborong dalam hak-hak PNS bulanan? Toh mereka mestinya tahu segala resiko ketika mendaftar menjadi PNS disitu?
Belum lagi tidak sedikit PNS yang ijin tidakmasuk (artinya tidak pentas) di GWO dan melayani pentas di luar atasnama pribadi. Lho?? Ini gimana sih..kan sudah dibayar untuk main tiap malam (kecuali Minggu) kok malah meninggalkan kewajiban? Mau bayarannya ngga mau kerjanya. Lha kalau begini caranya negara dirugikan karena membayar orang yang tidak bekerja. Apakah mereka pentas diluar tidak dibayar?Rasanya kecil sekali kemungkinannya. Lalu dimana letak kebenarannya meninggalkan kewajiban dan membuat keuntungan pribadi. Ini namanya juga korupsi, merugikan keuangan negara.
Dari sisi layanan publik. Apakah setiap orang yang datang itu tahu bahasa Jawa, tahu isi lakon yang disajikan, apalagi turis asing. Sebenarnya mungkin banyak yang berminat untuk menonton tetapi mereka tidak tertuntun dengan baik. Saya pernah menonton dan merasa bingung tentang lakon apa yang dibawakan malam itu. Pasalnya pernah mendengar kabar lakon bisa berubah sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya. Sejak memasuki pintu hingga pertunjukan selesai tidak ada MC yang –boro-boro memberikan ucapan selamat malam, menyebutkan lakonnya apa juga tidak. Di karcispun juga tidak ada info lakon yang dimainkan. Hanya sebuah papan kecil di pintu masuk menyebutkan lakon dalam sebulan.Lha kalau penontonnya lupa tanggal, salah dong menyebutlakon?
Bagi orang Jawa yang mahir berbahasa Jawa alus (dan jumlahnya tidak terlalu banyak) mungkin bisa paham, tetapi kalau ingin generasi muda bahkan turis itu menonton, mereka harus dijembatani. Sebuah white screen tampak tergantung sia-sia di sisi panggung. Kenapa itu tidak digunakan untuk memberi penjelasan pada penonton awam termasuk dalam bahasa Inggris? Bisa juga dengan cara memberi mereka bahan cetakan tentang lakon yang dimainkan malam itu, atau bisa saja link dimana bisa mengakses informasi itu.
Kenapa WO RRI selalu penuh setiap bulannya? Karena setiap malam mereka rajin mendatangi pemirsanya melalui indera dengar. Setiap kali mau pentas juga promosinya gencar sehingga orang menyiapkan diri. WOSBI juga sangat agresif publikasinya..bahkan hingga ke kampus-kampus. Hasilnya maksimal.
Sudah begitu gedung yang terletak menjorok di dalam itu tidakdiberi perhatian khusus, jalan di depannya yang banjir kalau hujan deras, depan gedung yang gelap, tulisan GWO yang tidak mencolok.Andai saja ada tulisan mencolok di pinggir jalan utama Slamet Riyadi yang kemudian mengarahkan yang lewat untuk tergoda menonton dan akhirnya kecanduan karena bagusnya penampilan dan manajemen.
Kalau WOS ingin banyak pengunjung mestinya memahami kebutuhan mereka. Bahkan jika ada keluhan mulainya terlalu malam sehingga anak kecil tidak bisa menonton, kenapa tidak menyediakan hari khusus untuk ditonton generasi penerus, misalpentas pada minggu pagi pada saat car free day? Sebagai gantinya PNS akan libur di hari lain. Ah..entah berapa lama lagi akan terwujud. (Nuri)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H