Qaul Qodim dan Qaul Jadid
Sumber hukum dalam islam terdiri dari Al-Qur'an, hadist, Ijma dan Qiyas. Adapun istem berfikirnya bermuara pada Al-Qur'an dan Hadits. Karena itulah semua hukum dalam islam yang bertujuan untuk mengatur kehidupan umat harus digali dan bersumber-sumber tersebut.Â
Namun pada prakteknya dalam penetapan hukum-hukum Islam terdapat nash-nash yang bersifat global, sehingga memerlukan juga sebuah kontemplasi konstruktif sebagai bentuk upaya menangkap makna dan pesan-pesan global yang terkandung dalam Al-Qur'an dan hadits.
Interpretasi terhadap tadwin dalam teks Al-Qur'an ataupun Hadis merupakan salah satu bentuk pembaharuan pemikiran dalam bidang hukum Islam. Makna tersirat dalam Al-Qur'an ataupun Hadis dapat digali melalui proses isthinbat al-ahkam. Dalam hal inilah dibutuhkan peran para ulama, sebagai penemu hukum. Salah satunya adalah Imam Syafi'i yang dalam istimbath  dikenal istilah qaul qadim dan qaul jadid.  apa yang dimaksud qaul qodim dan jadid itu?
Secara bahasa Qaul Qodim dan qoul Jadid masing-masing terdiri dari dua kata, yaitu Qaul yang artinya perkataan, pendapat atau bisa juga berarti pandangan, sedangkan Qadim berarti masa lalu atau masa sebelumnya. Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa makna dari Qaul Qodim adalah pandangan fiqih imam al-syafi'i versi masa sebelumnya atau versi masa lalu. Adapun Qaul Jadid yaitu kebalikan dari Qaul Qodim. Jadid sendiri berarti baru. Sehingga Qaul Jadid berarti pandangan fiqih imam al-syafi'i versi yang terbaru. (Lahaji, hal. 121)
Penggunaan istilah dalam penamaannya seharusnya menggunakan istilah aqwal yang berarti jamak, karena Qaul Qodim dan qoul Jadid ini sendiri merupakan sekumpulan fatwa, bukan hanya sekedar satu atau dua fatwa saja. Nama karena penamaan Qaul Qodim dan qoul Jadid sudah terlanjur melekat sehingga hingga kini dikenal dengan istilah Qaul Qodim dan qoul Jadid.
Qaul Qodim merupakan fatwa imam Al-syafi'i. Imam al-syafi'i sendiri mengeluarkan fatwa untuk pertama kalinya ketika beliau tinggal di baghdad Irak pada tahun 195 H. Fatwa itu keluar atas ijin guru dari imam al-syafi'i yaitu Imam Malik (pendiri Mazhab Malikiyah dan orang yang pertama kali mempunyai inisiatif untuk mengumpulkan Hadist dalam buku Sunnah) dan Sheikh Muslim bin Kholid (Imam besar dan Mufti di Mekkah).Â
Adapun Qaul Jadid merupakan pendapat Imam al-syafi'i ketika beliau tinggal di Mesir, hal tersebut idasarkan pada fenomena sosial ang terjadi pada masyarakat pada masa itu, dengan me-nasakh atau memperbarui pendapat lamanya ketika tinggal di Irak.
Perubahan dari Qaul Qodim ke Qaul Jadid didasari beberapa faktor, diantaranya:
1. Faktor Geografis
Geografis merupakan salah satu hal yang menentukan terhadap perkembangan dan pembentukan hukum Islam. Faktor Geografis menyebabkan perbedaan iklim antar wilayah. Dengan adanya Qaul Qodim dan Qaul Jadid membuktikan bahwa iklim di Baghdad Irak dan iklim di Mesir itu berbeda dan para ulama ahlul ra'yi dan ahlul hadits mengembangkan hukum sesuai dengan keadaan masyarakat di daerah tersebut.
2. Faktor Ilmu Pengetahuan
Ilmu pengetahuan para Imam Mujtahid dalam menentukan dan menggali hukum dapat dipengaruhi produk hukum atau proses ijtihad. Salah satu contohnya adalah Imam Al-syafi'i yang merupakan seorang ahlu Hadits dan juga ahlu ru'ya.Â
Dikarenakan beliau merupakan murid dari Imam Malik Bin Anas di Madinah yang merupakan ahlu Hadis dan Imam Al-syafi'i juga merupakan murid dari Imam Abu Yusuf dan Imam Muhammad in Hasan yang merupakan murid Imam Abu Hanifah di Irak.Â
Maka fatwa dan pandangan hukum Imam Syafi'i tidak sama dengan gurunya yang ahli hadits ataupun gurunya yang ahli ru'ya. Hal ini disebabkan oleh ilmu pengetahuan Imam Syafi'i. Fatwa yang dikeluarkan oleh Imam Syafi'i merupakan penggabungan dari keduanya. Begitupun ketika beliau tinggal di Mesir, beliau terus berdiskusi dengan ulama besar lainnya, sehingga tidak jarang menemukan Hadits yang lebih kuat sehingga kemudian beliau meralat atau meluruskan fatwa-fatwanya yang terdahulu.
3. Faktor Kebudayaan dan adat Istiadat
Kebudayaan dan adat istiadat dapat mempengaruhi proses dan perkembangan hukum Islam. Hal ini disebabkan karena  adat istiadat yang hidup dan berkembang dalam masyarakat tidak dapat ditinggalkan begitu saja, budaya tersebut sudah mendarah daging sehingga sulit jika harus dilepaskan. Sehingga seringkali terjadi asimilasi (percampuran) antara kebudayaan dan adat istiadat setempat dengan kebudayaan Islam (Hasbi Ash-Shiddieqy, hal. 119)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H