Mohon tunggu...
nuriyah amalia
nuriyah amalia Mohon Tunggu... -

Seorang anak bangsa yang peduli pada bangsa dan berkeinginan untuk membangun bangsa.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Lampu Merah

2 April 2011   16:23 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:11 57
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com


Tiang pancang dengan tiga lampu berwana merah, kuning, dan hijau. Biasanya berdiri kokoh di tengah jalan, mengatur kendaraan yang lalu lalang. Saat hijau, semua pengendara tersenyum riang karena rasa-rasanya akan lebih cepat sampai tujuan. Tapi saat merah? Siapa yang senang?
Jawabannya…

Mega…

Saat bersama Senja…

Ya, mereka berdua sangat suka lampu merah. Bagi mereka, lampu merah tidaklah menjemukan, justru saat lampu merahlah mereka mendapat kesempatan untuk berdekat-dekatan. Tak jarang, Senja melambatkan laju motornya jika melihat lampu lalu-lintas dari kejauhan, sengaja, agar momen lampu merah berhasil didapatkan. Tak jarang pula, Mega dan Senja akan memaki bersama apabila lampu merah telah berakhir saat mereka tiba.”Sial, bukan lampu merah!” seru mereka, kompak, penuh cinta.

Dasar anak muda, mungkin tak banyak yang tahu mengapa mereka sangat suka lampu merah? Tapi aku tahu, sangat tahu mengapa.

Mega dan Senja selalu pergi bersama, baik untuk pergi ke sekolah atau untuk pergi ke tempat lainnya. Mereka pergi mengendarai motor. Senja di depan dan Mega duduk manis di belakang. Selama perjalanan, tentu mereka tak punya banyak kesempatan untuk saling memandang. Yaa..jangankan memandang, untuk berbicara banyak pun susah, paling-paling hanya sesekali menggenggam tangan lalu cepat-cepat melepaskan, takut Senja hilang keseimbangan. Enam kilometer menahan rindu, mungkin tak jauh, tapi Hei! bagi remaja yang kasmaran, jarak itu tak sebentar. Makanya, ketika akhirnya mereka menemukan lampu merah di tengah jalan, mereka akan memekik dengan riang.

Lampu…Merah.

Senja menurunkan kaki, menyanggah berat motor, berat badannya, dan tentu berat Mega. Lalu ia menaikkan kaca helm, menoleh ke belakang, dan menyapu Mega dengan mata berbinar. Kemudian ia menggenggam erat tangan Mega dan berkata, “Sayang,” Mega hanyat menyahut “Apa?” dengan gaya angkuh, dingin, tapi tanpa sengaja, hormon cinta akan memaksa mukanya berubah menjadi merah. Senja tak marah dengan reaksi itu, sebab dia tahu bahwa itu adalah gaya ketika Mega sedang manja. Jika sudah begitu, maka Senja akan menggenggam tangan Mega lebih erat,sambil mencubit pipinya Senja akan berkata lagi “Aku sayang banget deh sama kamu”, Mega pun membalasnya dengan membuang muka ke arah jalan, dengan pandangan mata yang polos sambil mengguncangkan kaki dia akan berkata, “Aku juga”. Tawa pun pecah di antara mereka, sambil berpegangan tangan mereka akan melanjutkan tawanya dengan menyanyi bersama, menyanyi lagu apa saja yang kebetulan melintas di benak mereka. Tak pedulilah apa kata pengendara yang lain, toh saat jatuh cinta hukum “Dunia serasa milik berdua” berlaku, kan?

Kadang pula, jika sudah lampu merah, Mega akan berubah jadi jahil. Ia cubit pinggang Senja hingga Senja merengut. Ekspresi Senja yang lucu akan membuat Mega tertawa terbahak-bahak.Senja yang kesal akan memiringkan motor lalu berkata, “Turunin nih!.” Mega yang duduk menyamping jelas ketakutan dan dengan merajuk manja dia akan berteriak, “Ah, ah, jangan!.” Kali ini, ganti Senja yang tertawa terbahak-bahak dan kembali menegakkan motornya. Masih dengan hati yang berdebar, Mega akan memeluk punggung Senja dari belakang dan berbisik mesra, “Aku sayang kamu.” Pun dengan sisa tawa, Senja akan membalasnya dengan mengusap tangan Mega, “Aku juga,” ucapnya, kemudian mencium tangan gadis itu dengan penuh cinta. Dan lagi-lagi, mereka tak peduli dengan reaksi pengendara lainnya. Kawan, dunia masih serasa milik berdua!

Minggu, bulan, dan tahun berganti. Mega tak lagi bersama Senja, mereka telah menempuh jalan masing-masing. Baik jalan untuk sendiri ataupun jalan untuk menemukan orang lain. Setelah berpisah, Mega tak lagi suka lampu merah, sedangkan Senja, aku tak tahu dia masih menyimpan kenangan itu atau tidak. Tapi yang jelas, setiap lampu merah, Mega akan merengut, cemberut, kemudian menghentakkan kakinya di dalam angkutan, lalu tak sadar, ia akan bergumam, “Ah…andai Senja masih ada”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun