Mohon tunggu...
Nur Huda Anggarahma
Nur Huda Anggarahma Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Halo! Perkenalkan Saya Nur Huda Anggarahma Mahasiswa Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Prodi Ilmu Komunikasi

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Politik "Gemoy": Strategi Murahan untuk Menarik Pemilih SDM Rendah?

25 Desember 2024   15:13 Diperbarui: 25 Desember 2024   15:12 36
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam dunia politik yang semakin dipengaruhi oleh tren media sosial, citra dan kemasan pesan sering kali menjadi senjata utama yang mengalahkan substansi dan visi. Fenomena "politik gemoy" muncul sebagai strategi komunikasi yang menonjolkan sisi manis, lucu, dan menggemaskan para politisi untuk menarik perhatian publik, terutama pemilih dengan tingkat literasi politik yang rendah. Istilah "gemoy," plesetan dari kata gemas atau menggemaskan, populer di kalangan anak muda dan pengguna media sosial. Fenomena ini bahkan sempat melekat pada figur Prabowo Subianto, yang dianggap "gemoy" karena postur tubuh sintalnya dan kebiasaan berjoget dalam beberapa acara publik. Namun, apakah strategi ini benar-benar efektif meningkatkan keterlibatan politik, atau sekadar cara murahan untuk mengelabui pemilih?

Dengan semakin masifnya penggunaan meme, video pendek, dan candaan receh dalam kampanye politik, "politik gemoy" kian berkembang sebagai alat komunikasi politik yang menonjolkan kedekatan emosional alih-alih gagasan. Fenomena ini menjadi magnet kuat bagi generasi muda atau pemilih tingkat literasi politik yang rendah yang cenderung mencari hiburan dalam segala aspek kehidupan, termasuk politik. Namun, di balik pendekatan ini tersimpan pertanyaan besar: apakah fenomena "politik gemoy" dapat mencerdaskan demokrasi atau justru memperparah krisis kesadaran politik di masyarakat? Artikel ini akan mengupas lebih jauh bagaimana strategi ini memengaruhi kualitas demokrasi, menilai apakah "politik gemoy" adalah inovasi komunikasi yang adaptif atau sekadar permainan citra untuk mengeksploitasi emosi publik.

Fenomena ini dianalisis melalui Teori Kultivasi dari George Gerbner, yang menjelaskan bagaimana media berperan dalam membentuk persepsi realitas masyarakat. Dalam konteks ini, media sosial yang sering memuat konten visual seperti video atau meme politisi bertingkah 'gemoy' cenderung membentuk persepsi publik bahwa kedekatan emosional dan hiburan merupakan aspek penting dari politik. Selain itu, pendekatan ini juga dapat dikaitkan dengan Teori Dramaturgi Erving Goffman, yang memandang komunikasi sebagai panggung di mana politisi memainkan peran tertentu untuk membangun citra yang disukai masyarakat. Melalui pendekatan ini, 'politik gemoy' bukan hanya strategi komunikasi, tetapi juga alat pencitraan yang bertujuan untuk mengarahkan perhatian masyarakat pada persona politisi, mengalihkan fokus dari isu-isu substantif.

Eksploitasi Emosi dan Pemilih SDM Rendah

Fenomena "politik gemoy" menjadi populer karena caranya yang mudah menarik perhatian masyarakat dengan menggunakan emosi. Di Indonesia, ini terlihat ketika politisi melakukan hal-hal sederhana seperti berjoget, bercanda, atau terlihat santai untuk membuat orang merasa dekat. Cara ini sering berhasil, terutama bagi orang-orang yang kurang memahami atau tidak terlalu peduli pada isu-isu politik yang lebih berat.

Namun, kedekatan yang muncul dari gaya ini sebenarnya hanya tampak di permukaan dan tidak selalu nyata. Bukannya mengajak masyarakat untuk membahas masalah penting seperti ekonomi, pendidikan, atau hukum, gaya ini justru membuat perhatian publik teralihkan ke hal-hal yang kurang relevan. Akibatnya, banyak pemilih yang akhirnya menentukan pilihan mereka berdasarkan rasa simpati atau emosi, bukan berdasarkan penilaian yang logis terhadap program kerja yang ditawarkan.

Menurut saya, cara ini mungkin efektif untuk meraih suara, tapi sebenarnya berbahaya bagi demokrasi. Dengan terlalu fokus pada penampilan dan hiburan, politisi mengabaikan tanggung jawab untuk menyampaikan gagasan yang bisa benar-benar memperbaiki kehidupan masyarakat.

Keberhasilan Strategi di Era Media Sosial

Media sosial menjadi pendorong utama yang mempercepat penyebaran "politik gemoy." Platform seperti Instagram, TikTok, dan Twitter memungkinkan politisi membuat konten yang dengan mudah menjadi viral. Contohnya, video singkat yang memperlihatkan politisi berjoget atau berinteraksi santai dengan masyarakat sering kali ditonton jutaan orang dan mendapatkan ribuan komentar. Meski ada kritik, mayoritas respons biasanya positif, menciptakan kesan bahwa politisi tersebut benar-benar dekat dengan rakyat. Namun, kedekatan ini lebih sering merupakan hasil rekayasa citra daripada hubungan yang nyata.

Fenomena ini tak lepas dari cara masyarakat sekarang mengonsumsi informasi. Generasi muda, yang mendominasi pengguna media sosial, cenderung lebih menyukai konten visual dan hiburan dibandingkan membaca teks panjang yang berisi data atau analisis. Akibatnya, politisi yang mampu tampil "gemoy" lebih mudah menarik perhatian dan dukungan kelompok ini.

Meskipun strategi ini efektif untuk menarik simpati publik, dampaknya terhadap demokrasi dalam jangka panjang patut dipertanyakan. Apakah konten semacam ini benar-benar meningkatkan kesadaran politik masyarakat atau justru memperburuknya? Jika politisi lebih fokus pada penampilan dibandingkan substansi, kita berisiko kehilangan esensi demokrasi, yaitu membahas dan mencari solusi atas isu-isu penting yang memengaruhi kehidupan rakyat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun