[FKK] Manis-Pahit Cintaku di Surabaya
Siti Nur Hasanah, No. 52
Nanar tatap mataku mengawasi lalu lalang para penumpang kereta api di stasiun Gubeng. Sengaja aku datang lebih awal dari jadwal keberangkatan kereta api Sancaka Pagi, yang akan membawaku ke tempat Workshop di Yogyakarta. Kali ini aku berangkat bersama ketiga temanku, yang akan mewakili peserta dari kota Surabaya.
Stasiun Gubeng sudah banyak perubahan. Di sana-sini telah direnovasi juga semakin luas. Tidak seperti beberapa tahun yang lalu. Kondisinya masih sangat sederhana. Tapi meski demikian, kala itu pun .. aku sudah menganggap stasiun yang terbaik yang ada di kota kelahiranku. Saat itu pun, kereta api juga aku anggap alat transportasi yang mahal setelah pesawat terbang. Aku belum pernah menikmati perjalanannya, hanya sempat duduk beberapa menit di dalam gerbong sebelum kereta api Bima beranjak dari stasiun beberapa tahun yang silam.
Sumber Gambar: www.tiket.com
Tiba-tiba mataku .. tertuju kepada sebuah gerbong kereta api yang sedang berhenti. Ingatanku kembali menguak peristiwa beberapa tahun silam, saat aku masih menjadi gadis mungil yang beranjak dewasa. Kala itu aku masih duduk di bangku kuliah semester tiga. Aku ingat sekali peristiwa yang terjadi di dalam gerbong KA Bima, yang akan membawa kekasihku menuju Ibu Kota, Jakarta. Peristiwa yang mengakhiri segalanya (cinta kami)... tanpa penjelasan...
Malam bertabur bintang ... (di Taman Remaja Surabaya)
Sumber Gambar: www.wisatapanorama.com
“Ana, minggu depan aku akan berangkat ke Jakarta. Surat lamaranku diterima dan aku harus mengikuti training di sana selama tiga bulan.” Jelas Yudi sambil memegang lembut tanganku.
Tiba-tiba hatiku keluh, ada rasa was-was yang tengah bergelora di dasar hatiku. Meski sebenarnya aku merasa bahagia karena ternyata surat lamaran pekerjaan ke departement store terbesar di Indonesia, yang ditulis Yudi bersamaku beberapa minggu yang lalu telah mendapatkan panggilan. Tapi tetap saja hatiku gundah karena perjalanan cinta kami akhir-akhir ini tengah dalam masalah. Orang tua kami sama-sama tidak merestui hubungan kami. Mereka bersikeras dengan pendapat masing-masing tanpa mempertimbangkan perasaan kami sama sekali.
“Alhamdulillah ... selamat ya, Yud.. akhirnya surat lamaran itu diterima.” Jawabku dengan muka yang ceria, menyembunyikan perasaanku yang sesungguhnya diliputi rasa gundah.
“Lalu rencanamu bagaimana?” tanyaku dengan perasaan yang tidak sabar.
“Aku akan berangkat ke Jakarta dengan naik kereta api saja.” Ungkapnya sembari meluruskan pandangannya tepat di mataku.
Uuch ... hatiku makin keluh. Akankah tatapan itu bisa aku miliki selamanya? Pertanyaan itu semakin membuat pedih hatiku. Namun aku tidak mau menyia-nyiakan kebersamaanku dengan Yudi. Kesempatan seperti ini jarang sekali kami dapatkan.
“Ya uda..kalau begitu nanti aku usahakan mengantar keberangkatanmu.” Jawabku dengan menggandeng tangannya sambil berjalan menelusuri keindahan panorama di sekeliling Taman Remaja Surabaya (TRS) yang semakin ramai pengunjungnya.
Lagi-lagi perasaanku mulai cemas. Muncul berbagai macam pertanyaan-pertanyaan yang membuatku sangat pesimis dengan hubungan kami. Sementara kesempatan yang manis-manis pun jarang kami dapat. Kami sama-sama anak-anak yang patuh kepada orang tua. Meski sekali-sekali kami terpaksa back street jika ingin bertemu. Seperti malam ini ... aku terpaksa tidak ke kampus karena gejolak kerinduan yang ingin saling bersua. Ada juga rasa bersalah karena berbohong, tapi mau bagaimana lagi. Kalau izin kepada orang tua kami, pasti akan kena marah. Pahitnya nasib cintaku ... hiks ...
Dalam suasana yang tenang, sambil bergandeng tangan .. aku mencoba kembali merajuk Yudi. Siapa tahu kali ini berhasil. Harapku dalam hati.
“Yud, besok lusa kita jalan-jalan ke pantai Kenjeran ya... ?” aku ingin menikmati suasana pantai bersamamu. Lagian kita tidak pernah sekali pun ke sana. Sementara pantai satu-satunya yang ada di Surabaya kan pantai Kenjeran, Yud!” Rajukku dengan penuh harap. Angan-anganku pun dalam sekejap membayangkan keindahan pantai Kenjeran Surabaya. Hemmm.. alangkah indahnya duduk di tepi pantai sambil menikmati santapan Lontong Kupang dan Es Degan (Ind: kelapa muda). Atau menyusuri tepi pantai dengan telanjang kaki sambil bergandengan tangan. Ach ...
Sumber Gambar: anekatempatwisata.com
“Jangan. Kita tidak usah ke sana. Kalau kamu benar-benar ingin ke sana, ya sama teman-temanmu kuliah saja yaa... “. Jawabnya dengan lembut, sambil berusaha membuatku agar tidak kecewa karena selalu ditolak setiap kali aku mengajaknya ke sana.
Yudi memang laki-laki yang tegas, tetap pendiriannya, namun sangat lembut. Itu yang sangat aku sukai dari dirinya, selain alasan-alasan lain yang sama sekali tak bisa aku ungkapkan dengan kata-kata. Dia sangat meyakini mitos bahwa sepasang kekasih yang datang ke pantai Kenjeran, akan mengalami perpisahan. Karenanya Yudi tidak pernah mau setiap kali aku ajak ke sana. (tapi kenyataannya... meski kami tak pernah ke sana, juga berpisah ... L)
Senja di Stasiun Gubeng Surabaya
Aku sedikit berlari memasuki pintu gerbang stasiun Gubeng. Perasaanku khawatir kalau sampai ketinggalan kereta yang akan membawa Yudi ke Jakarta. Sambil bergegas, mataku dengan liar mencari keberadaan Yudi. Untung hari ini tidak ada mata kuliah jam ke-0. Sehingga aku bisa tetap berangkat sore tanpa harus berbohong lagi kepada Ibuku karena inginnya mengantar kepergian Yudi. Tiga bulan bukan waktu yang sebentar bagi kami yang sedang asyik memadu cinta. Apalagi cinta terlarang. Hehehe... seperti judul lagu saja!
Seketika mataku menangkap sesosok tubuh dengan wajah tampan yang sangat kukenal sejak kecil. Dia berdiri tegap sambil melambaikan tangannya ke arahku sambil memberi isyarat agar bergegas karena kereta sudah datang. Setelah kami berdekatan, dengan sigap dia membawa tas ranselnya sambil menggandeng tanganku untuk segera memasuki gerbang kereta dan mencari tempat duduk sesuai nomornya. Sepertinya, ia pun tidak ingin menyia-nyiakan waktu yang tersisa sebelum kereta api berangkat.
“Mengapa ibumu masih belum bisa merestui hubungan kita? Sedemikian bencinyakah ibumu kepadaku?” kalimat itu yang tiba-tiba terlontar dari mulutnya setelah kami sama-sama duduk.
Sumber Gambar: www.panoramio.com
Aku gelengkan kepala dengan perasaan yang amat pedih. Aku merasa terpukul. Lagi-lagi pertanyaan itu yang muncul. Dan aku selalu tidak ada keberanian untuk menjawabnya. Sama dengan pertanyaan-pertanyaanku yang ingin sekali aku lontarkan kepadanya. Hingga detik ini pun tidak pernah aku sampaikan. Aku tidak punya cukup keberanian untuk menyampaikan. Takut melukai perasaannya. Aku tidak mau dia terluka. Meski ibunya dengan mudahnya selalu melontarkan kata-kata yang begitu menyakitkan kepada kelurgaku. Kami memang tinggal sekampung dengan keluarga Yudi. Keluargaku bukan keluarga yang mampu seperti keluarga Yudi. Tapi bukan berarti kami bisa dihina seenaknya. Apakah cinta hanya milik mereka yang mampu saja? Tidak, bukan?!
“Kamu hati-hati ya... Jaga diri selama aku ada di jakarta.” Pesannya sambil menggenggam erat tanganku. Aku tak kuasa menahan semua rasa yang berkecamuk tak menentu di dalam dada. Lalu, genggaman tangan kami pun makin erat. Rasanya kami tak ingin berpisah. Namun apa boleh buat, pengumuman bahwa kereta api akan segera berangkat sudah menggema ke seluruh gerbang kereta, bahkan ke seluruh penjuru stasiun agar para penumpang bersiap-siap. Aku pun cepat-cepat turun dari kereta dengan membawa perasaan yang amat pedih. (ternyata, ini memang awal dari perpisahan kami selamanya)
Sambil menatap gerbang kereta yang mulai melaju perlahan... tiba-tiba jeritku dalam hati...
“Jangan ... sungguh jangan kau lepas sedetik pun genggamanmu. Juga jangan pesankan padaku untuk berhati-hati. Bukankah sejak empat tahun yang lalu, sejak kita sama-sama mengutarakan perasaan, telah kutitipkan hatiku di dadamu? Lalu, bagaimana bisa aku berhati-hati tanpa hati?” keluhku lirih dengan perasaan yang benar-benar hancur tanpa pernah Yudi ketahui.
Tiga bulan kemudian ...
Sebulan , dua bulan, hingga bulan ketiga ... sejak kepergian Yudi, dia sama sekali tak pernah mengirim kabar atau pun surat (maklum saat itu belum ada HP. Sementara telepon aku tidak punya). Hatiku mulai gamang. Aku hanya memiliki harapan-harapan semu. Firasatku, cinta Yudi sudah mulai hilang sejak keberadaannya di Jakarta.
Pagi itu perasaanku bahagia campur cemas karena mendengar bahwa Yudi akan datang. Berita itu datang dari salah seorang teman yang tinggal di depan rumahnya. Rasanya aku tidak sabar menunggu kedatangannya. Ingin tahu kabarnya. Ingin menatap matanya dan mencari sesuatu di sana. Mata yang tajam dalam tatapannya dan selalu memancarkan rasa cinta yang sanggup menembus ke dasar hatiku paling dalam. Hemmm...
Sehari, dua hari aku menunggu Yudi muncul untuk menemuiku. Tapi ternyata penantianku sia-sia. Dia sama sekali tak menemuiku. Sampai aku mendengar kabar dari temanku lagi, bahwa Yudi sudah punya kekasih lagi. Dia dekat dengan gadis yang ditemuinya di tempat training, yang sama-sama dari Surabaya juga. Seketika, perasaanku benar-benar hancur, remuk. Aku benar-benar terpuruk dan rasanya ingin mati saja. Aku mengurung diri di dalam kamar. Tidak mau makan, tidak bicara apapun, hanya menangis, menangis, dan menangis. Menyesali semuanya yang telah terjadi selama ini. Sia-sia sudah penantianku. Hiks...
“Sudah, An .. jangan pernah dipikirkan lagi. sejak dulu Ibu sudah selalu menasihatimu. Sekarang sudah terbukti kan?” suara tegas Ibuku menghentikan isak tangisku.
“Kita memang orang susah. Kamu anak yatim pula. Tidak mungkin dikehendaki oleh keluarga Yudi.” Lanjut Ibuku seolah-olah sudah mengetahui semua yang terjadi.
“Jangan pernah membiarkan orang lain bisa menghinamu seenaknya, tunjukkan bahwa kamu mampu berdiri tegak dan bisa sejajar dengan yang lain. Jangan pernah memberi kesempatan kepada orang lain untuk memandangmu sebelah mata, anakku. Meski kamu sangat mencintainya. Ibu yakin kamu bisa!” pesan Ibuku dengan lembut dan penuh ketegaran sebelum keluar dari kamarku. Kata-kata Ibuku seolah-olah memberiku kekuatan. Kata-kata itu yang selalu aku pegang dan aku pertahankan.
Pagi itu... di Stasiun Gubeng
Lamunanku tiba-tiba buyar begitu saja oleh tepukan dari seseorang di bahu kananku.
“Hai ... pagi-pagi sudah bengong. Nglamun apa wae, Rek?” tegur salah satu temanku yang sudah pada datang dengan gurauan bahasa khas Suroboyoan.
“Weee .. pengen tahu saja! Jawabku dengan kerlingan mata mencoba menyembunyikan suasana hatiku yang hampir gundah karena teringat kembali dengan peristiwa lama yang sudah terkubur di dasar hati.
“Wis ... wis .. ayo siap-siap, sepure wis teko!” seru salah satu teman yang lain.
Kami pun bergegas menuju gerbang kereta api Sancaka Pagi, yang akan membawa kami ke Yogyakarta. Selamat tinggal Surabaya ... semua kenanganku telah tersimpan abadi di kota ini.
Gresik, 13 Juni 2014
NB : Untuk membaca karya peserta lain silahkan menuju akun Fiksiana Community(http://www.kompasiana.com/androgini)
Silahkan bergabung di group FB Fiksiana Community
(link https://www.facebook.com/groups/175201439229892/)
Catatan:
Lontong Kupang: Lontong kupang atau kupang lontong adalah nama makanan khas daerah Jawa Timur. Makanan ini terkenal khususnya di daerah Surabaya, Sidoarjo dan Pasuruan.
Bahan utama yang digunakan adalah kupang putih (Corbula faba H), yaitu hewan laut semacam kerang bentuknya kecil sebesar antara biji beras dan biji kedelai. Kupang yang telah dikupas dan dimasak, ditambahkan lontong dan lentho, kemudian diberi kuah petis dan sedikit perasan jeruk nipis. Untuk menghidangkan biasanya dipadukan dengan sate kerang, serta minuman air kelapa muda atau degan. (Sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Lontong_kupang )
Nglamun apa wae, Rek? (Ind. Melamun apa saja, teman?)
Wis: sudah
sepure: kereta apinya
teko: datang
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H