Mohon tunggu...
Nur Hikmah
Nur Hikmah Mohon Tunggu... Guru - an avid learner

Tangerang - Banten

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Pot Kecil, Kemerdekaan dan Komunitas Belajar

1 April 2023   15:30 Diperbarui: 1 April 2023   15:37 192
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada bulan September tahun lalu saya diminta menemani seorang teman untuk membeli beberapa tanaman untuk sekolah. Di tempat pedagang tanaman itulah saya melihat tanaman bunga Kenanga. Tanaman itu mengingatkan saya akan ayah saya yang sudah berpulang. Setiap pagi beliau akan memetik beberapa Kenanga kemudian menyimpannya sebagian di atas meja kamar tidurnya dan sebagian lagi di kantung baju kokonya. Tanpa berpikir panjang sayapun membeli tanaman tersebut untuk di tanam di rumah. Kebetulan teman saya juga memilih tanaman tersebut untuk ditanam di sekolah.

Beberapa bulan kemudian saya dikagetkan dengan tingginya tanaman dan banyaknya bunga-bunga kenanga yang bermekaran di sekolah saya. Saya bertanya-tanya mengapa pohon kenanga saya masih belum tumbuh dan berbunga. Saya bertanya pada tukang kebun di sekolah pupuk apa yang dipakai, tapi katanya ia tak memberikan pupuk apapun. Tidak puas dengan obrolan itu sayapun bertanya pada teman saya seorang guru biologi. Setelah mengobrol cukup lama ternyata penyebabnya sepele saja, saya masih belum memindahkan tanaman saya ke tempat yang lebih besar sehingga menghambat pertumbuhannya. Jujur saja saya memang tidak mengerti cara menanam dan merawat tumbuhan sama sekali.

Jika tanaman saja bisa terhambat pertumbuhannya karena ukuran pot yang terlalu kecil, bagaimana dengan murid? Akankah "pertumbuhannya" juga akan terhambat jika kita memberi mereka ruang yang sempit? Apakah sekolah merupakan "pot" sempit bagi murid-murid kita? Apakah selama ini kita sudah menempatkan murid-murid kita pada "pot" yang sesuai? Semua pertanyaan ini ditujukan bagi kita guru, karena sejatinya sebagai petani, sudah tanggung jawab kita menempatkan mereka pada "pot" yang tepat. Menempatkan murid pada "pot" yang tepat adalah bagian dari memerdekakan mereka, membiarkan mereka tumbuh sesuai dengan kodratnya.

Meskipun konsep memerdekakan murid ini sudah diperkenalkan oleh Ki Hadjar Dewantara dahulu kala, tapi saya merasa ini adalah hal yang baru bagi guru. Pertanyaan bagaimana cara memerdekakan murid masih jadi pertanyaan bagi saya dan (mungkin) guru lain juga. Iseng-iseng saya tanya ChatGPT, inilah jawaban yang diberikan:

  • Meningkatkan Pembelajaran Mandiri: Memberikan peserta didik kesempatan untuk memilih cara yang terbaik untuk mereka pelajari. Hal ini dapat dilakukan dengan membuka jalan edukasi yang terbuka, transparan, dan responsif dengan kebutuhan peserta didik.
  • Memperhatikan Kesehatan Mental Peserta Didik: Untuk memerdekakan peserta didik, penting untuk memperhatikan kesehatan mental mereka. Setiap individu memerlukan rasa aman, nyaman dan dukungan selama masa pertumbuhan dan perkembangan. Oleh karena itu, diperlukan adanya dukungan psikologis untuk peserta didik agar dapat merasa dihargai, diakui, dan menjadi individu yang merdeka.
  • Memberikan Keterampilan Kritis: Peserta didik memerlukan keterampilan kritis untuk merdeka. Keterampilan kritis adalah kemampuan berpikir dengan jernih, memecahkan masalah, dan mempertimbangkan kesalahan atau kekurangan yang ada. Keterampilan ini dapat dikembangkan melalui pelatihan keterampilan, penilaian yang jujur, dan umpan balik yang efektif.
  • Memberikan Dukungan pada Peserta Didik Dari Kelompok Minoritas: Peserta didik dari kelompok minoritas seperti kaum marginal, terpinggirkan, dan minoritas dengan kurang lebih sendiri layaknya yang seringkali diisolasi atau diskriminatif, memerlukan dukungan untuk memperoleh keseimbangan yang merdeka. Hal ini dapat dilakukan dengan mengintegrasikan inklusi dan keragaman dalam lingkungan pendidikan.
  • Menyediakan Sumber Daya Yang Memadai: Pendidikan yang merdekakan memerlukan sumber daya yang memadai, seperti buku dan peralatan pendukung lainnya. Hal ini memungkinkan peserta didik untuk memilih jalur pendidikan yang sesuai dengan potensi yang mereka miliki serta mampu memenuhi kebutuhan langsung kewajiban sebagai pembelajar.

Jawaban ChatGPT sebagai kecerdasan buatan yang konon bisa menggantikan hasil pencarian Google masih belum cukup bagi saya. Memang bukan cara terbaik bertanya pada robot. Menurut saya cara terbaik adalah bertanya kepada sesama guru sesama praktisi. Meskipun sangat mungkin teman guru juga masih meraba-raba tentang cara memerdekakan murid. Namun, kebingung bersama ini bisa dimanfaatkan menjadi sebuah kekuatan. Kebingungan ini dapat dijadikan sebuah mesin penggerak komunitas belajar. Komunitas yang bergerak atas keinginan untuk belajar bersama-sama, mencari solusi akan keresahan-kerasahan yang dirasakannya selama mengajar. Komunitas yang muara akhirnya adalah peningkatan belajar siswa.

Membangun sebuah komunitas belajar bukanlah hal yang mudah bagi saya. Hambatannya sebenarnya mungkin berada dalam diri saya sendiri, saya terlalu sungkan mengajak teman-teman meluangkan waktunya untuk berkumpul. Maka ini yang saya lakukan di awal-awal, saya membawa projector, laptop dan perlengkapan lainnya ke tempat teman-teman berkumpul. Di hari Jumat saat murid-murid sudah pulang, teman-teman biasanya berkumpul di ruang guru. Di sanalah saya mulai berbagi. Satu hal yang tidak akan saya lupakan dari momen tersebut, kepala sekolah saya menarik-narik kursi sendiri untuk mengikuti kegiatan ini. Bagaimana tidak, di ruang guru memang tidak ada kursi kepala sekolah...  Tidak hanya itu, beliau juga menjadi salah satu peserta yang aktif mengutarakan pendapatnya dan selebihnya adalah keajaiban-keajaiban bagi saya.

Keajaiban pertama, teman-teman antusias memberikan pendapat. Bahkan sempat ada adu argumen saat saya memberikan sebuah contoh kasus. Suasana sesi berbagi tersebut begitu hidup. Kami banyak berfikir, mengeluarkan pendapat dan tidak kalah pentingnya tertawa. Sesaat saya mengakhiri kegiatan tersebut, seorang teman berdiri mengambil sebuah piala di dekatnya dan mengatakan "peserta paling aktif jatuh kepada ibu Lathifah." Tanpa aba-aba kami semua tertawa dan bertepuk tangan. Gestur kecil teman saya ini memberikan inspirasi betapa penting sebuah apresiasi. Bagi saya apresiasi tersebut adalah keaktifan teman-teman dalam mengikuti kegiatan. Tapi bagi kepala sekolah apresiasi itu tidak cukup. Setelah kegiatan beliau menghampiri meja saya. Beliau meminta agar kegiatan serupa terus dilaksanakan, menyerahkan jadwal dan teknisnya kepada saya. Ini adalah merupakan keajaiban juga bagi saya. Menurut saya dukungan kepala sekolah adalah hal yang sangat penting dalam membentuk sebuah komunitas belajar.

"Jika komunitas belajar sudah terbentuk apakah secara otomatis akan meningkatkan pembelajaran siswa?" Sebelum menjawab pertanyaan ini, mungkin pertanyaan ini lebih cocok diajukan terlebih dahulu "apakah komunitas belajar yang ada sudah efektif?" Bolam (2005, 8) menilai keefektifitasan sebuah komunitas belajar diukur dari sejauh mana komunitas tersebut sudah memiliki ciri-ciri komunitas belajar yang ideal. Ada 5 ciri-ciri komunitas belajar yang ideal, yakni:

  • Memiliki nilai-nilai dan visi yang sama
  • Anggota komunitas memiliki tujuan yang sama dalam hal ini yaitu meningkatkan pembelajaran murid.
  • Memiliki tanggung jawab kolektif
  • Tanggung jawab bersama ini penting agar setiap anggota berkomitmen untuk meningkatkan pembelajaran murid.
  • Melakukan refleksi
  • Refleksi adalah hal yang krusial dalam proses belajar. Belajar tanpa refleksi itu sia-sia dan refleksi tanpa belajar itu berbahaya (Confusius). Kegiatan berefleksi termasuk didalamnya membicaran isu-isu pendidikan, melakukan supervisi, mencari solusi bersama atas permasalahan yang dihadapi dalam proses mengajar.
  • Berkolaborasi
  • anggota komunitas saling membantu dan mendukung dalam belajar.
  • Mendorong pembelajaran
  • Guru adalah juga pembelajar. Maka komunitas mendorong agar anggotanya belajar baik secara individu maupun bersama-sama.

Jika komunitas belajar memiliki kelima ciri-ciri komunitas belajar yang ideal maka dapat dikatakan komunitas belajar tersebut efektif. Selanjutnya komunitas belajar yang baik akan memberikan dampak pada pembelajaran di kelas. Sebagaimana diungkapkan oleh Andrews dan Louis pada Bolam (2005,10) "where teachers developed a professional learning community, it not only enhanced the knowledge base of the group, but also had a significant impact on their work in their classrooms."

Untuk itu keberadaan komunitas belajar dalam sekolah adalah sebuah keniscayaan karena guru harus belajar. Guru adalah teladan bagi murid-muridnya. Jika ia ingin mengajarkan muridnya untuk selalu belajar, maka gurunyapun harus mau belajar. Terlebih lagi saat ini kita para guru baru dibukakan matanya oleh mas Mentri Pendidikan dan Kebudayaan akan pentingnya kemerdekaan dalam belajar. Memerdekakan murid-murid agar mereka tidak terjebak dalam "pot" sempit yang menghambat pertumbuhan dan perkembangannya. Memerdekakan murid adalah hal yang baru bagi kita. Kehadiran komunitas belajar diharapkan dapat menjadi wadah bagi para guru untuk memperlajari kurikulum merdeka. Kurikulum yang memerdekakan muridnya dalam belajar. sehingga mereka dapat tumbuh dan berkembang sesuai dengan potensinya masing-masing.    

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun