Transaksi dalam Minimarket Modern selama ini masih ada beberapa yang memperdepatkan tentang sah atau tidaknya. Padahal faktanya sekarang kita tidak terlepas dari proses transaksi jual beli tersebut. Dimana hampir setiap hari kita melakukannya disaat berbelanja di minimarket modern. Dalam transaksi jual beli kita mengenal istilah ijab qobul yang menjadi salah satu rukun sahnya jual beli tersebut secara islami.
Ijab secara bahasa berarti mengharuskan ( Wajib), sedang secara istilah,ijab berati segala sesuatu yang dilontarkan oleh penjual untuk menunjukkan kerelaannya atas suatu barang yang dijual belikan. Sedangkan qobul merupakan kebalikan dari Ijab.Qobul berarti segala sesuatu yang dilontarkan pembeli untuk menunjukkan kerelaan dalam bertransaksi. Ijab dan Qobul pada dasarnya menggunakan lafal. Pelafalan ijab dan qobul harus jelas dan tidak membingungkan.
Sedangkan permasalahan mu'amalat (interaksi sesama manusia) tidaklah termasuk amalan ibadah atau masuk dalam kategori mubah sehingga tidak harus seratus persen sesuai dengan yang dicontohkan. Mu'amalat hanyalah hubungan sesama manusia, sehingga apa saja yang mereka anggap sebagai transaksi jual-beli, maka itu dikatakan jual-beli. Dalam Mu'amalat karena hukum dasarnya mubah, sehingga dalam proses transaksinya lebih banyak bersandar pada adat kebiasaan dimana proses transaksi terjadi.
Dalam sejarahnya tidak ada dalil ataupun standar ijab qobul , baik dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam atau para sahabatnya yang dapat dijadikan dalil guna menggariskan definisi akad jual-beli harus seperti apa. Hanya ada penegasan prinsip dasar dari Mu'amalah atau jual beli nya saja.
Telah diketahui bahwa Allah dan Rasul-Nya tidak pernah menyebutkan definisi jual-beli  baik dalam Al Qur'an atau As sunnah. Sebagaimana tidak pernah diriwayatkan dari seorang sahabat, atau tabi'in , bahwa ia menentukan ucapan tertentu guna menjalankan akad ini. Juga tidak pernah ditemukan satu ucapan yang dapat mengarah kepada pemahaman bahwa suatu akad tidak sah, kecuali bila dijalin dengan ucapan-ucapan tertentu.
Sebaliknya, sebagian ulama' menegaskan bahwa anggapan semacam ini nyata-nyata menyelisihi kesepakatan ulama' zaman dahulu, sehingga dapat dikatagorikan sebagai bid'ah. Bila suatu hal tidak memiliki definisi dalam syari'at, tidak juga dalam ilmu bahasa, maka rujukannya adalah tradisi masing-masing masyarakat. Adat kebiasaan suatu masyarakat bisa menjadi hukum disaat permasalahan tersebut tidak disyariatkan dalam islam. Sehingga apa yang menjadi kebiasaan masyarakat setempat dalam bertransaksi jual beli maka itulah jual beli dan apa yang tidak pernah dilakukan oleh masyarakat setempat maka tidak dimaksud jual beli. Dalam Majmu Fatwa Ibnu Taimiyyah 19/16 beliau mengatakan "apa saja yang oleh masyarakat disebut sebagai jual-beli maka itulah jual-beli. Dan apa saja yang mereka sebut sebagai hibah, maka itulah hibah"
Pada kesempatan lain beliau berkata: "Pendapat yang benar, bahwa kedua pihak bila telah saling mengetahui maksud lawan transaksinya, maka dengan ucapan apa saja mereka menjalankan suatu akad, akad antara mereka berdua adalah sah. Dan ini berlaku umum pada seluruh jenis transaksi. Dikarenakan Allah dan rasul-Nya tidak pernah memberikan batasan dalam hal ucapan akad. Akan tetapi Allah Ta'ala dan rasul-Nya menyebutkannya tanpa ada batasan. Sebagaimana transaksi dapat dijalin dengan bahasa Persia, Romawi atau lainnya, maka transaksi boleh dijalin dengan ucapan apa saja dalam bahasa Arab yang menunjukkan akan transaksi tersebut."
Kesimpulan beliau ini didukung oleh kaedah ilmu fiqih yang berbunyi, "Adat-istiadat itu memiliki kekuatan hukum.". Yang dimaksud dengan adat-istiadat disini ialah adat-istiadat yang telah berlaku dan dijalankan oleh setiap orang dan tidak menyelisihi syari'at.
Dan kaedah berikut juga menguatkan kesimpulan beliau di atas, "Hukum asal pada setiap masalah yang tercakup dalam adat kebiasaan, adalah boleh." Dan akad jual-beli, sewa-menyewa, pernikahan dan yang serupa adalah sebagian dari bentuk adat istiadat, dan bukan peribadahan. Dengan demikian, semua akad ini tercakup oleh keumuman kaedah tersebut.
"Bila ada yang berkata: Akad nikah, disebutkan oleh Allah dengan kata-kata nikah, sehingga pada akadnya harus menggunakan kata-kata: menikahkan. Maka kita jawab: begitu juga halnya dengan jual-beli, Allah sebutkan dengan kata jual-beli, apakah kita juga akan berpendapat bahwa ketika kita bertransaksi jual-beli harus menggunakan kata: saya jual? Jawabannya pasti: tidak. Bila demikian, akad jual-beli beli dapat terjalin dengan ucapan apa saja yang biasa digunakan ketika menjual (ijab) dan begitu juga ketika membeli (kabul)."Kita  bisa bayangkan, betapa susahnya hidup kita , bila setiap transaksi yang kita jalankan harus diutarakan dan diucapkan. Bila demikian adanya, maka kita tidak akan bisa berbelanja di supermarket, atau tempat-tempat serupa.
Dan di antara metode jual-beli yang dibenarkan dalam syari'at ialah dengan cara saling menyerahkan barang yang dimaksud, pembeli menyerahkan uang pembayaran, dan penjual menyerahkan barang yang dibeli oleh pembeli tanpa ada satu katapun dari kedua belah pihak (metode mu'athah). Hal ini sebagaimana yang lazim terjadi di pusat-pusat perbelanjaan, seperti supermarket, dan yang serupa. Allah Ta'ala melalui Al Qur'an dan As Sunnah An Nabawiyyah hanya mensyaratkan dalam perniagaan adanya taradhi(suka sama suka), dan hal ini letaknya dalam hati setiap orang. Sebagaimana ucapan ijab dan qabul dianggap sebagai bukti adanya rasa suka sama suka dalam hati, begitu juga perbuatan saling menyerahkan, dapat menjadi bukti adanya rasa suka sama suka yang dimaksudkan. Dan praktek masyarakat sejak zaman dahulu menunjukkan akan hal ini. Inilah pendapat yang lebih kuat dalam permasalahan ini.