Mohon tunggu...
Nur Hidayati
Nur Hidayati Mohon Tunggu... Guru - Wanita yang sedang berusaha menjadi lebih baik

Be a grateful wife of Akas Anggita

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Taqlid

5 April 2016   16:09 Diperbarui: 12 April 2016   09:31 25
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebagai kata, taqlid berarti membuat ikatan di leher. Diambil dari kata qallada, yang antara lain bermakna mengalungkan tali, meniru, menyerahkan, mempercayakan, mendudukkan. Berkaitan arti ikatan, alatnya dinamakan qaladah atau qiladah, yang berarti tali kekang yang kuat. Adapun sebagai istilah, taqlid bermakna mengambil pemahaman dari seseorang atau beramal dengan ucapan-ucapan orang itu tanpa pengetahuan akan dalil dan hujjah.

Dalam kitab I’lamul Muwaqqi’in, Abu Abdillah bin Khuwaizi Mandad menyatakan, “setiap orang yang engkau ikut tanpa dalil dan hujjah, engkau adalah muqallidnya. Yang memperbolehkan bertaqlid kepada salah satu imam madzhab adalah pendapat yang dipegang oleh tokoh-tokoh pembesar pengikut madzhab (ash-hab al-madzahib). Sedangkan yang secara mutlak melarang taqlid, di antaranya, pendapat Iman Asy-Syaukani dan Ibnu Khuwazi Mandad. Ada juga yang membolehkan taqlid dengan syarat, seperti taqlid orang awam kepada orang alim yang terpercaya; serta taqlid yang dilarang, seperti taqlid seseorang kepada seorang alim tanpa hujjah (dalil). Pendapat ini adalah pendapat jumhur ulama.

Syaikh Muhammad Nashirudin Albani berkomentar tentang kebolehan seorang awam bertaqlid kepada alim yang terpercaya, “Yang benar adalah bahwa orang yang tidak mampu untuk mengetahui dalil, dia itulah yang diharuskan bertaqlid. Karena Allah tidak membebani suatu jiwa pun kecuali sesuai dengan kemampuannya. Dan kadang-kadang seorang alim pun terpaksa bertaqlid dalam beberapa permasalahan, yaitu ketika dia tidak mendapatkan nash Al-Qur’an dan as-sunnah dan dia mendapatkan ucapan orang yang lebih alim dari dirinya. Maka dalam keadaan itu dia terpaksa bertaqlid keadanya. Hal ini pernah dilakukan oleh Imam Syafi’i dalam beberapa permasalahan.”

Namun demikian, seseorang seyogyanya tidak selamanya bertaqlid. Ia harus menempuh pengetahuan, khususnya yang berkaitan dengan amaliyah keseharian, sehingga derajadnya naik menjadi muttabi’ (seseorang yang mengikuti ulama dan mengetahui dalil-dalil yang dijadikan hujjahnya). Allah SWT berfirman, “Dan sesungguhnya Kami telah mudahkan Al-Qur’an untuk pelajaran, maka adakah orang-orang yang mengambil pelajaran? (QS Al-Qamar 17, 22, 32, dan 40). Dan ayat yang berbunyi, “Ini adalah sebuah kitab yang kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai pikiran.” (QS Shaad: 29)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun