Aku termenung, sudah sebulan lamanya aku berusaha. Berharap dengan usaha itu aku sedikit tenang dengan masa depan, kata yang selalu digembor-gemborkan orang-orang sekitarku.Â
"Raag, kamu tahu apa tujuannya belajar?" Dengusannya membuatku berpaling, merasa bodoh bertanya kepadanya.Â
Okey, dia hanya Raag, aku tidak perlu merasa terjun bebas karena reaksinya. Menarik napas dalam, aku kembali menatapnya menunggu jawaban.Â
Sejujurnya aku benci bertanya, aku lebih suka mencari-cari sendiri. Tapi kali ini tidak, aku butuh makhluk hidup untuk membantuku mencari jawaban. Sayangnya, seorang Raag adalah bencana bagi orang seperti ku. Raag adalah orang yang bisa saja membuat orang-orang dengan rasa ingin tahu tinggi kehilangan rasa percaya diri untuk bertanya.Â
"Woah, akhirnya kamu memilih bertanya kepadaku, hm? Kemana teman pintarmu, apakah kali ini dia menyerah diperalat terus-menerus olehmu?"Â
Seperti biasa, Raag adalah orang yang cocok menjadi sasaran kebencian, begitupun aku, maka dari itu kami berteman.Â
"Jawab Ag!" tegasku, menatap lekat matanya yang jenaka dan tajam.Â
"Tujuan belajar sesimpel agar kita tidak hancur, Al, kita dihidupkan di bumi ini agar bisa membangun, bukan menghancurkan. Ada sanggahan?"Â
Dedaunan berguguran usai Raag menjelaskan dengan singkat, wajah dan alis terangkatnya melebur bersama angin yang menerbangkan rambut-rambutnya.Â
"Tapi apa jadinya, jika justru pelajaran dari hasil belajar tidak membuat kita mampu membangun malah tetap menghancurkan?" tanggapku, mengundang tawa yang terdengar sinis darinya.Â
"Maka tidak ada proses belajar di dalamnya, belajar bukan hanya tentang duduk di bangku sekolah, Al, tidak sedangkal itu." Ujarnya.
"Bahkan mereka yang menghabiskan banyak waktu di sekolah belum tentu belajar, jadi jangan heran jika banyak lulusan yang belum bisa membangun." Lanjutnya, menatap mataku seolah mencemooh.Â
Waktu 15 tahun bukan waktu singkat, selama itu aku belum bisa menjadi apa-apa.
"Lalu, belajar seperti apa yang bisa menciptakan manusia-manusia pembangun?" tanyaku, menghiraukan perasaan down yang melintas.Â
Raag membalas acuh, menatap lekat-lekat orang-orang yang berada dibawah sana.Â
"Seharusnya kamu menanyakan kepada dirimu, kamu seorang pelajar, bukan?"Â
"Oh, kamu mengejek ku tidak menghasilkan, tidak melakukan apa-apa di jenjang sekarang," sarkasku, mendecih merasakan kesombongan Raag yang mengintimidasi.
"Kamu masih emosian, Al, terlalu rentan patah. Padahal kamu banyak belajar tentang psikologi, kan?" balasnya, pertanyaannya terdengar serius dan peduli.Â
Jika harus memilih, Alma tidak akan memilih Raag sebagai teman. Karena ia sendiri tahu, memilih Raag sama halnya dengan hidup dengan orang yang memenjarakannya. Raag adalah orang yang mengunci sebagian udara yang membuatku tetap hidup.Â
"Kamu belum sembuh, bahkan setelah 15 tahun berlalu?" tanyanya, bahkan ketika ia tahu pasti jawabannya.Â
"Kamu tidak mengalaminya, Raag, walaupun aku tahu, akan tetap sulit lepas dari sesuatu yang sudah membaur dengan dirimu, penyakit itu sudah menetap lama di alam bawah sadarku," ujarku, membela diri.Â
"Seharusnya mudah, Al, jika kmu berani mengikuti step-step yang kamu pelajari, cobalah sesekali lawan alam bawah sadarmu," sanggahnya, suaranya kian terdengar jengah.
"Kamu bisa, hanya belum percaya diri. Itulah gunanya aku, Al, jika dengan kebersamaan kita, kamu tidak berubah lalu apa gunanya aku? Kamu bisa dan aku mendukungmu. Selalu." Tutupnya, lantas melangkah pergi, menyisakan ruang kosong yang diliputi angin dingin.Â
Seharusnya aku juga pergi, mengejar Raag. Tapi, apa gunanya? Raag si pembual, mengejarnya atau mempercayainya sama saja melangkah ke kandang buaya.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H