Untuk seorang remaja tanggung seperti ku, menemukan sunrise esok hari merupakan satu berkah dan perkembangan bagi diri sendiri.Â
Rasanya sudah begitu lama, rutinitas jalan pagi dan menemukan orang-orang berjalan menuju kebun atau sawah, tidak lagi mengawali pagi. Aku, bahkan kita mungkin lupa menikmati hidup yang berbahagia sebab sibuk mengejar target.
Aku, kita terlalu banyak sibuk dengan dunia seorang remaja menuju dewasa. Remaja yang resah karena sekolah, remaja yang dilema dan patah hati, remaja yang sibuk mempersiapkan karir, remaja yang banting tulang untuk diri dan keluarga.Â
Duduk di beranda rumah, menyaksikan gelap sedikit demi sedikit terkikis cahaya, langkah kaki yang tidak beralaskan sandal namun begitu pasti dalam melangkah. Pemandangan yang memantik rasa syukur juga keharuan. Mereka menikmati hidup, sebagaimana yang seharusnya.Â
Bekerja di pagi hari, tertidur di siang hari, beribadah, menikmati sore hari dan istirahat di malam hari, dan mereka tetap makan dengan penuh kesyukuran.Â
"Lebih terasa sehat kalau bangun pagi, kan?" sapa ibu dengan tanya, menempatkan diri di samping ku.
"Tiga kali seminggu pergilah jalan-jalan pagi, supaya tidak lemah tulangmu itu," lanjutnya, mengkoordinir kepalaku mengangguk takzim.Â
Kali ini semua perkataan ibu ku dengarkan dengan baik, tidak lagi membangkang, aku merindukan Omelan ibu.
Teh panas dan nasi goreng, apakah masih mengisi sarapan pagi? Rasanya sudah lama, bukan.Â
"Masuklah dulu, makan, selepas itu beberes, mandi," perintahnya, menyisakan kursi kosong yang menguarkan hembusan angin dingin.Â
Sayangnya, ketika aku menghadap meja makan, hanya lengang mengisi tiap kursi yang berjejer. Teh panas dan nasi goreng tak lagi mengisi meja makan, hanya ada gorengan kering dan dingin yang dikerubuti semut.Â