Mohon tunggu...
Nurhidayah
Nurhidayah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Manusia Biasa

"Membacalah dan menulis, bentuk peradaban maju di dalam pola pikirmu." - Instagram: hayzdy Linkedin: www.linkedin.com/in/nurhidayah-h-23aab8225

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sebagai Teman atau Manusia Berpikir, Lebih Pilih Mana?

29 Januari 2023   16:54 Diperbarui: 29 Januari 2023   17:19 122
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Keheningan menjadi satu-satunya kesukaan yang paling ia gemari, bahkan ketika berada di ruang yang sama dengan manusia lain, Idya pasti memilih diam saja dibanding berpikir keras menjawab pertanyaan orang-orang. Tapi kali ini, rasanya Idya perlu berbicara. 

Yura sibuk dengan ponselnya, membuat Idya mengulur waktu untuk bertanya. Lagipula, antara Idya yang tidak dikenal atau Idya yang dikenali, akan lebih mudah mengetahui sifatnya. 

Idya yang banyak tanya tapi lebih dikenal pendiam oleh banyak orang. Image yang sangat terjaga.

"Kenapa mayoritas orang suka ngejudge orang-orang yang berbakat? Apakah salah kalau mereka terlahir tanpa harus berusaha keras memaksimalkan keahliannya?" tanya Idya, beralih menatap Yura yang sibuk bergulingan menerima pesan dari gebetan. 

Yura menghentikan kegiatan, cemberut menatap Idya yang cengengesan, sudah hapal dengan narasi Yura berikutnya.

"Id, suka banget deh nanya-nanya mulu, kalau aku ngacangin kan nggak enak," sambil meletakkan ponsel, Yura berpikir. 

"Menurutku ya, rasanya nggak adil aja gitu, mereka menguasai suatu hal tanpa harus berusaha keras," lanjutnya kemudian. 

"Kayak seolah-olah mereka diciptakan untuk hal itu, ngerjain asal aja tetap bagus gitu," tambahnya, lantas mengendikkan bahu.

"Tapi kenapa harus disinisin?" lanjut Idya bertanya. 

"Menurutku bukan disinisin ya, lebih ada ajalah perasaan alami manusia yang selalu merasa takut, cemburu sama seseorang yang lebih. Ya biasalah, mereka yang bersikap seperti itu hanya iri, merasa nggak aman kalau yang lain lebih dulu bertumbuh sedangkan mereka ya gitu-gitu aja," jelasnya, mengangguk-anggukkan kepala mendengarkan perkataannya sendiri.

"Tapi maaf nih ya, Id, pertanyaanmu merujuk ke seseorang ya?" selidik Yura, menatap Idya yang memalingkan wajah. 

"Ya gimana ya, rasanya aku tuh nggak enak aja berteman sama seseorang yang menjadikan aku saingan," keluh Idya, menghela nafas berat.

"Lagipula dibanding dia, aku masih jauh kali, dan rasanya aku benar-benar perlu membatasi diri sama dia. Setiap kali kita ngobrol berdua, dia seolah nggak mensyukuri pencapaiannya dan menyudutkan aku seolah 'Idya kamu tuh cuma menghambat aku', dia iri karena aku melakukan apa yang dia inginkan dan dia melihatnya seolah aku melakukannya dengan mudah," curhat Idya. 

"Hm, kenapa nggak bilang aja ke orangnya, kalau kamu nggak nyaman," saran Yura, mendekatkan diri membaca ekspresi teman kamarnya itu. 

"Ya nggak tega dong, aku paham dia cuma curhat, Yur, tapi akunya aja yang nggak nyaman, dia juga pasti nggak niat mengarah kesana."

"Kamu tuh, maklum sih maklum, tegas dikit dong, Id, nanti dia semena-mena loh," peringatnya, memecah pikiran Idya yang sedang plin-plan. 

"Yur, aku udah pernah kek gitu, mengutarakan apa saja yang aku rasakan dan pikirkan, ujung-ujungnya aku kehilangan banyak teman. Aku dianggap terlalu serius, baperan dan sebagainya," balas Idya, memijit-kijit kepala yang mendadak pusing.

"Lagipula, kita udah berteman cukup lama, mungkin nggak apa-apa keluarin sedikit effort untuk pertemanan kami," lanjutnya, berusaha menerima apa adanya apapun yang ia rasakan. 

"Nggak setuju aku, Id, kalaupun dia ninggalin kamu, pasti ada gantinya lagi, kok," sanggah Yura, mengingatkan Idya.

"Ya mungkin, tapi nggak mudah, Yur, berteman dengan orang baru lagi, lama-lama aku muak juga sama diriku sendiri." 

Sampai tengah malam, percakapan Idya dan Yura disahuti pendapat pro dan kontra. Ujung-ujungnya mereka tertidur tanpa menemukan jalan keluar. Ya mau gimana lagi, Idya tidak mungkin menjauhi Nera, orang yang menjadi perdebatan. 

Nera sedang pulang kampung selama 2 hari, dan mereka bertiga Idya, Yura dan Nera adalah teman seperjuangan kurang lebih 3 tahun, sekamar juga. Nggak mungkin Idya menciptakan suasana tidak nyaman di kamar hanya karena ia tidak suka atau mungkin salah paham dengan sikap Nera. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun