Keheningan menjadi satu-satunya kesukaan yang paling ia gemari, bahkan ketika berada di ruang yang sama dengan manusia lain, Idya pasti memilih diam saja dibanding berpikir keras menjawab pertanyaan orang-orang. Tapi kali ini, rasanya Idya perlu berbicara.Â
Yura sibuk dengan ponselnya, membuat Idya mengulur waktu untuk bertanya. Lagipula, antara Idya yang tidak dikenal atau Idya yang dikenali, akan lebih mudah mengetahui sifatnya.Â
Idya yang banyak tanya tapi lebih dikenal pendiam oleh banyak orang. Image yang sangat terjaga.
"Kenapa mayoritas orang suka ngejudge orang-orang yang berbakat? Apakah salah kalau mereka terlahir tanpa harus berusaha keras memaksimalkan keahliannya?" tanya Idya, beralih menatap Yura yang sibuk bergulingan menerima pesan dari gebetan.Â
Yura menghentikan kegiatan, cemberut menatap Idya yang cengengesan, sudah hapal dengan narasi Yura berikutnya.
"Id, suka banget deh nanya-nanya mulu, kalau aku ngacangin kan nggak enak," sambil meletakkan ponsel, Yura berpikir.Â
"Menurutku ya, rasanya nggak adil aja gitu, mereka menguasai suatu hal tanpa harus berusaha keras," lanjutnya kemudian.Â
"Kayak seolah-olah mereka diciptakan untuk hal itu, ngerjain asal aja tetap bagus gitu," tambahnya, lantas mengendikkan bahu.
"Tapi kenapa harus disinisin?" lanjut Idya bertanya.Â
"Menurutku bukan disinisin ya, lebih ada ajalah perasaan alami manusia yang selalu merasa takut, cemburu sama seseorang yang lebih. Ya biasalah, mereka yang bersikap seperti itu hanya iri, merasa nggak aman kalau yang lain lebih dulu bertumbuh sedangkan mereka ya gitu-gitu aja," jelasnya, mengangguk-anggukkan kepala mendengarkan perkataannya sendiri.
"Tapi maaf nih ya, Id, pertanyaanmu merujuk ke seseorang ya?" selidik Yura, menatap Idya yang memalingkan wajah.Â