Mohon tunggu...
NURHELINA
NURHELINA Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Jambi

Terus melangkah.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Menilik Bahasa dan Sastra Adat Suku Anak Dalam

21 Februari 2023   12:54 Diperbarui: 21 Februari 2023   12:55 716
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Taukah kalian bahwa Indonesia memliki 1340 suku bangsa, dan mempunyai lebih dari 652 bahasa? Salah satu suku asli yang ada di negara tercinta ini adalah Suku Anak Dalam yang lebih tepatnya berada di Provinsi Jambi. 

Suku Anak Dalam sering disebut “Kubu” oleh masyarakat Jambi. Suku ini hidup dipedalaman hutan rimba yang terdapat di Jambi. Suku ini adalah suku minoritas di pulau Sumatera dengan populasi sekitar 200 ribu orang. Kita dapat menjumpai orang rimba ini di Taman Nasional Bukit 12 yang berada di Kecamatan Air Hitam, Kabupaten Sarolangun, Jambi.

Suku Anak Dalam masih sangat memegang teguh adat istiadat, bahasa, dan kepercayaan mereka. Suku Kubu masih meganut kepercayaan Animisme (kepercayaan terhadap roh-roh nenek moyang) dan Dinamisme (kepercayaan terhadap benda-benda mati). Adapun bahasa yang dipakai oleh orang rimba ini adalah Bahasa Kubu yang mulai punah.

Nah, sekarang kita akan kupas apa saja kosakata yang dipakai oleh suku primitif ini. Kosakata yang pertama adalah kosakata tradisi. Kosakata tradisi Suku Kubu terdiri atas manumbai (pengambilan madu, dengan membaca mantra dan pujian terhadap lebah), basale (tradisi pengobatan), dan melangun (meninggalkan rumah untuk menghilangkan kesedihan, akibat kematian anggota keluarga).

Kosakata kedua dari suku ini adalah kosakata pengambilan makanan, yang terdiri atas meremu (mengambil buah-buahan, daun-daunan, atau umbi-umbian yang terdapat di hutan, untuk dijadikan bahan makanan), betilik (menangkap ikan di sungai dengan cara memilih dan membidik ikan secara diam-diam, kemudian menangkap ikan yang dibutuhkan dengan menggunakan tombak), berisil (menangkap ikan dengan menggunakan tuba yang berasal dari getah kulit pohon), beburu (menangkap hewan di hutan seperti babi, rusa, dan biawak).

Kosakata terakhir dari suku ini adalah kosakata penangkal bala yang terdiri dari amal/benda yang terbuat dari kain (digunakan oleh seorang dukun untuk menakut-nakuti roh jahat), , bebesel/ sepotong ranting kayu/ logam/ batu (digunakan untuk melindungi diri, mengobati diri, dan menolak bala dari berbagai macam penyakit), taruh nikmat/ minyak pelet (terbuat dari sperma gajah dicampur dengan minyak kelapa hijau, kemenyan putih, dan getah gaharu), Giginyaru/ kalung yang terbuat dari tali pusar bayi (digunakan untuk menangkal marabahaya dan menolak roh-roh jahat yang bersemayam di dalam jantung manusia). Nah teman-teman, itulah tadi kosakata-kosakata yang terdapat pada Suku Kubu.

Selanjutnya kita akan membahas sastra adat Suku Kubu nih teman-teman, yuk kita lihat ada apa aja sih sastra adat dari suku ini. Sastra adat suku kubu terdiri atas petatah-petitih, seloko, dan pantun. 

Mari kita bahas tentang petatah-petitih terlebih dahulu. Petatah-petitih merupakan sastra adat Jambi yang berisikan nasehat dan pandangan-pandangan serta pedoman hidup yang baik, petunjuk dalam melakukan hubungan sosial kemasyarakatan. Bunyi dari petatah-petitih ini antara lain, supayo disisik disiangi dengan teliti, dak ado silang yang idak sudah, dak ado kusut yang idak selesai.

Sastra adat yang kedua adalah seloko, seloko merupakan sastra adat Jambi yang berisikan petuah-petuah untuk keselamatan dan kebaikan kehidupan bagi masyarakat. Adapun bunyi dari seloko yakni, musim elok ketiko nan baik, teluk tenang rantau selesai, ke ayek cemetik keno, ke darat jerat keno, ke balik rumah durian runtuh, naek ke rumah anak la lahir, ke dapur lemang la tejulur . 

Sastra adat yang terakhir yaitu pantun adat. Pantun adat, merupakan sastra adat Jambi yang dipergunakan untuk berkomunikasi, saling ajuk mengajuk yang dilakukan dengan berpantun. 

Biasanya digunakan saat berselang, kerja gotong royong dan kerja bersama lainnya. Di samping itu pantun dapat juga berupa nasehat atau menjelaskan suatu persoalan dan lain-lain. Contohnya yaitu, berapa tinggi kayu di tungkal - lebih la tinggi kayu di jambi - betapa sedih adik yang tinggal - lebih la sedih kami yang pergi.

Nah itulah tadi seputar Suku Anak Dalam, sangat beragam bukan? Jadi, marilah kita untuk lebih peka terhadap keragaman budaya yang terdapat di negeri kita ini, agar keragaman budaya, bahasa maupun kekayaannya tidak akan punah ditelan zaman. “Cintai budayamu, lestarikan selamanya”.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun