Lagi-lagi terjadi, demi ingin eksis generasi hari ini selalu menempuh cara-cara praktis demi mendulang pengakuan atau bahkan hanya just for fun bersama teman-temannya. Parahnya justru demi konten live sampai menghilangkan nyawa seperti yang terjadi di Leuwiliang, Kabupaten Bogor Seorang wanita berinisial W (21) tewas tergantung di rumah kontrakannya. Pasalnya W melakukan video call Bersama teman-temannya.
     Â
Saat sedang live nampak W melakukan aksi gantung diri dengan kain hingga naas saat kursi yang dijadikan tempat menapaknya terpeleset sehingga W tewas dengan kondisi kain yang telah mengikat lehernya (news.detik.com, 3/3/3023).
     Â
Social media ibarat dua mata pisau, satu sisi menguntungkan dengan memberikan pertemanan dan jejaring yang sosial. Disisi lain memberikan dampak mental yang buruk kepada generasi. Salah satu contohnya adalah budaya flexing yang sudah menggejala.
     Â
Flexing adalah istilah yang merujuk pada seseorang yang menyombongkan gaya hidupnya demi memberikan kesan mampu pada orang lain. Tidak sedikit dari mereka yang rela menghabiskan uang untuk barang-barang dan fasilitas mewah hanya demi menunjukkannya ke orang lain, singkatnya flexing adalah sebagai upaya untuk mendapatkan validasi (pengakuan) eksternal, khususnya melalui media sosial (Suara.com, 26/5/2022).
Taraf Berpikir Yang Rendah Menghasilkan Perilaku Rendahan
     Â
Perilaku pengen eksis dengan konten bukan hanya dinampakkan oleh masyarakat biasa bahkan dikalangan selebriti pun demi konten bahkan seorang public figur rela memperlihatkan kehebohannya mengajak serta anaknya main jetski tanpa pengaman seperti yang viral beberapa waktu lalu. Kemudian adalagi konten di kanal Youtube yang rela meninggalkan anaknya di mall untuk di prank dalam konten Ayah-Ibu nya.
     Â
Sungguh jika kita melihat fenomena ini adalah suatu problem sosial yang harus diketahui bahkan harus memahami dengan pasti bahwa pengakuan dan ingin eksis berlebihan tanpa memandang aktifitas itu wajar dan tidak adalah sebuah "penyakit". Sebab pengakuan dari orang lain selalu menimbulkan pro kontra terlebih beragam komentar netizen di social media. Ketika yang melihat adalah sebuah kewajaran maka akan memuji, sebaliknya jika yang dinilai oleh netizen adalah ketidakwajaran maka akan mem-bully. Dan dampak dari bullying ini-pun justru akan merusak mental juga.
     Â
Perilaku ini sejatinya adalah perilaku rendah, yang  muncul dari  taraf berpikir yang rendah pula.  Budaya ini menunjukkan ada yang salah dalam kehidupan ini. Dan ini tentulah hasil dari sistem kehidupan yang diyakini masyarakat dalam seluruh aspeknya.  Sistem hari ini gagal menunjukkan kemuliaan manusia melalui ketinggian taraf berpikirnya.  Negara gagal melahirkan sosok individu berilmu tinggi.
     Â
Ini terjadi ketika hari manusia melakukan sebuah perbuatan yang tidak terikat dengan nilai-nilai termasuk agama. Sehingga banyak hal yang dilabrak dan berjalan dengan yang sudah tidak sesuai dengan fitrahnya. Ibaratnya sebuah kereta telah memiliki rel namun ia memilih untuk keluar rel maka disitulah awal dari bencana dan kerusakan. Begitupun manusia ketika jalan hidup yang terbaik sudah ditetapkan oleh Yang Maha Menghidupkan dia, dengan tidak berjalan pada "rel" atau aturan kehidupan maka sungguh itu adalah hal yang menghantarkan pada kerusakan.
Islam Memuliakan Fitrah Manusia
     Â
Dalam Islam begitu memberikan perhatian kepada kebaikan generasi. Mulai dari saat bayi dalam kandungan sampai dilahirkan, Islam memberikan panduan yang jelas terkait adab dan pengajaran kepada generasi.
      Â
Dimulai dari mengokohkan pondasi keyakinan (aqidah) bahwa kita sebagai manusia adalah sebagai hamba yang harus mau terikat dengan Maha Menciptakan kita. Sehingga pada perjalanannya segala akfititasnya harus selalu terjaga bahwa setiap perbuatannya akan dihisab baik itu buruk ataupun baik.
     Â
Menghadapi fenomena yang semuanya harus serba di konten dan orientasinya adalah pengakuan dan cuan maka itu tidak lepas dari penerapan sistem kehidupan hari ini yang memisahkan agama dengan pengaturan kehidupan yang disebut sekulerisme. Sebuah paham yang mendikotomikan antara kehidupan umum dan konsep beragama. Agama hanya dipandang mengatur ranah privat (hablu minAllah) terbatas hanya ibadah saja, sedangkan kehidupan umum. Seperti yang terjadi hari ini orang rela mengejar eksistensi dan materi tanpa memandang rambu-rambu aturan dari Al-Khaliq. Wallahu 'alam bishowab[]
     Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H