Di awal bulan September tahun 2024, guru-guru matematika se-Nusantara yang tergabung dalam Perkumpulan Matematika Nusantara mengadakan Musyawarah Nasional (MUNAS) ke-1 dan Temu Ilmiah di Lombok, Nusa Tenggara Barat.
Acara prestisius ini berlangsung di Hotel Idoop, Kota Mataram, tempat para guru menginap dan melaksanakan berbagai agenda penting.Â
Kegiatan Ilmiah yang Padat
Di tengah padatnya jadwal kegiatan ilmiah, para guru yang penuh semangat dan kebahagiaan ini meluangkan waktu untuk berkunjung ke Desa Sade, salah satu destinasi budaya paling terkenal di Lombok Tengah. Desa Sade, yang terletak sekitar 30 km dari Kota Mataram, menjadi magnet bagi wisatawan lokal maupun mancanegara karena keunikan budaya dan adat istiadat suku Sasak yang masih terjaga hingga kini.
Keunikan Budaya Desa Sade
Desa Sade dikenal sebagai cerminan hidup suku Sasak, di mana tradisi nenek moyang tetap dijaga dengan penuh hormat. Rumah adat yang terbuat dari anyaman bambu, atap ilalang, dan lantai tanah liat yang diolesi kotoran kerbau, mencerminkan kearifan lokal yang lestari. Arsitektur yang unik ini tidak hanya berfungsi sebagai tempat tinggal, tetapi juga simbol kesederhanaan dan ketahanan suku Sasak dalam menghadapi perubahan zaman.
Meskipun Desa Sade sering disebut sebagai ikon tradisi suku Sasak, desa ini bukan satu-satunya yang mempertahankan budaya tersebut. Ada juga Desa Rembitan dan Desa Ende yang serupa, namun Desa Sade lebih dikenal dan populer di kalangan wisatawan. Sebagai salah satu desa adat yang terus berjuang mempertahankan keaslian budayanya, Desa Sade memainkan peran penting dalam menjaga dan melestarikan warisan budaya Sasak di Pulau Lombok.
Aturan Unik dalam Masyarakat Suku Sasak
Keunikan lain dari Desa Sade adalah aturan ketat mengenai jumlah rumah. Desa ini terdiri dari 150 rumah, dan sesuai dengan adat setempat, jumlah ini tidak boleh bertambah atau berkurang. Rumah dan harta diwariskan kepada anak laki-laki termuda dalam keluarga. Sementara itu, anak-anak lainnya yang sudah menikah diharuskan untuk mandiri dan membangun rumah mereka sendiri di desa lain, yang sering kali merupakan hasil pengembangan dari Desa Sade.
Namun, bagaimana jika sebuah keluarga tidak memiliki anak laki-laki? Dalam hal ini, warisan akan diteruskan kepada keponakan laki-laki dari pihak ayah, menjaga agar garis keturunan tetap terhubung melalui laki-laki, sesuai dengan tradisi yang berlaku.
Inspirasi dari Kunjungan ke Desa Sade
Kunjungan para guru matematika ke Desa Sade tak hanya memberikan mereka wawasan tentang budaya, tetapi juga inspirasi untuk mengaitkan pembelajaran matematika dengan kehidupan sehari-hari. Sebuah pengalaman yang sarat makna, di mana mereka dapat melihat langsung bagaimana konsep-konsep matematika dapat diterapkan dalam menjaga tradisi dan mengelola kehidupan bermasyarakat.
Para guru menyadari bahwa matematika tidak hanya ada di dalam buku atau ruang kelas, tetapi juga dapat ditemukan dalam struktur sosial, arsitektur, dan tradisi yang ada di sekitar mereka. Dengan memahami dan menghargai budaya lokal, mereka dapat menciptakan metode pembelajaran yang lebih relevan dan menarik bagi siswa.
Kesimpulan
Musyawarah Nasional dan kunjungan ke Desa Sade menjadi pengalaman berharga bagi para guru matematika. Selain memperluas pengetahuan akademis, mereka juga mendapatkan pelajaran berharga tentang pentingnya melestarikan budaya dan tradisi. Pengalaman ini mengingatkan kita bahwa pendidikan tidak hanya tentang ilmu pengetahuan, tetapi juga tentang memahami dan menghargai keberagaman yang ada di sekitar kita.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI