Mohon tunggu...
Nurhasan Wirayuda
Nurhasan Wirayuda Mohon Tunggu... -

Tiada yang diadakan, lalu tiada lagi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

212, Cuti Nalar dan Perlawanan Pak Tua

7 Desember 2016   12:06 Diperbarui: 7 Desember 2016   12:16 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa hari yang lalu di Desa kami yang cukup besar, seperti hari-hari biasanya hujan turun dengan derasnya. Lama-kelamaan mereda menjadi gerimis. Kabut tipis menyelimuti bumi, ditambah angin sepoi-sepoi yang menusuk tulang

Ada suatu keramaian di dekat kantor balai desa, para warga menuntut Pak RW Akhuka ditangkap dan dicopot dari jabatannya. Walaupun gerimis, para warga tetap berduyun-duyun memenuhi halaman Balai Desa. Ada Mas Rizieq yang turunan Ngarab, ada Pak Aripin dan Pak Gymi yang beristri dua, dan banyak yang lainnya. Tentu saja Pak RW Akhuka tidak akan berani nongol batang hidungnya di tengah-tengah warga.

Lalu sejurus kemudian Pak Kades Joko Linglung datang, ditangannya membawa payung biru  unyu-unyu untuk melindungi badannya yang kurus kerontang terbebas dari terpaan air hujan, beliau didampingi oleh ajudan-ajudannya lalu para warga yang melihat kemunculan pak Kades meneriakkan takbir dengan gegap gempita, “Allahu Akbar”, wajah mereka riang gembira.

Aku yang mengamati para warga dari kejauhan terheran-heran, Kok para warga meneriakkan takbir, wajah-wajah mereka memancarkan aura bahagia.

Aku sungguh tidak tega kalau bilang mereka (para warga) sedang Cuti Nalar, karena mereka tidak tahu dan tidak paham bahwa sesungguhnya Pak Kadeslah justru aktor utama penggadai kedaulatan desa kami kepada penduduk desa yg lain, Pak Kadeslah orang yang mengobral tanah di desa, dan dialah yang menyewakan dengan murah kekayaan tambang-tambang di segala penjuru desa.

Aku pikir Tuhan yang Maha Kuasa sedang menutupi pikiran mereka barang sebentar saja, suatu saat nanti penutup itu akan dibuka oleh-Nya.

***

Di sudut desa kami ada seorang sepuh yang hidupnya setiap hari ialah berpuasa dan bertapa. Orang-orang desa memanggilnya Cak Sot. Walaupun beliau lebih senang dipanggil “Cak”, tetapi saya tetap memanggilnya Si Mbah. Karena jelas perbedaan usia kami terlampau jauh.

Beliau adalah orang yang menurutku paling mencintai Desa dan  para warga, si Mbah terkenal sakti, saya pernah dengar cerita dari kakek saya  pada tahun 1998 si Mbah yang waktu itu masih lumayan muda pernah menurunkan Kades yang waktu itu terkenal dengan  sebutan Macan karena keganasannya. Tidak hanya itu, Si Mbah muda malah mengajari Kades itu kata-kata “Ora dadi Kades, ora patheken”.

Dengar-dengar kabar,  Si Mbah yang sudah lama tinggal di sudut Desa kami yang sunyi itu sudah mulai angkat bicara.  Ia berbicara pada dirinya sendiri, “akan melawan”. Beliau memohon kepada Tuhan agar bermurah hati dan bertoleransi memberikan waktu yang sepanjang-panjangnya sesuai dengan kebutuhan perjuangan dan perlawanannya.

Tentu sebagai seorang pemuda saya merasa bahagia, seperti menemu cahaya di tengah keremangan dan kegelapan. Seperti pemuda Ashabul kahfi yang dibangkitkan dari tidur setelah 309 tahun lamanya.

Sebab jika si Mbah sudah mulai melawan yang dimenangkan bukan salah satu kubu, tetapi seluruh penduduk desa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun