Mohon tunggu...
Nur Hasanah
Nur Hasanah Mohon Tunggu... -

Biology, Conservation, Insects, Social Justice, Musics\r\n\r\nTetap optimis dan semangat

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Amsterdam, Ganja, dan Kebebasan

17 Mei 2012   08:37 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:11 1652
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_177680" align="alignleft" width="300" caption="Kanal Amsterdam dikelilingi oleh gedung-gedung tua nan indah"][/caption] [caption id="attachment_177672" align="alignleft" width="240" caption="Dua gram ganja yang dibeli Patrick "]

1337267035345052
1337267035345052
[/caption] Tulisan ini adalah hasil observasi saya ketika berkunjung ke Amsterdam bulan Maret 2012. Saya berkunjung ke Belanda dalam rangka kursus singkat di Wageningen selama 2 minggu, dan selama 2 minggu berikutnya, setelah selesai kursus, saya menyempatkan untuk travel kebeberapa kota seperti Brussel, Stockholm, Den Haque, Utrecht, dan Amsterdam. Kota yang paling berkesan adalah Amsterdam, kota kecil penuh kebebasan. Tiga hal yang membuat saya terkaget-kaget dengan berkunjung ke kota ini. Yang pertama adalah keindahan kotanya dengan kanal-kanal dan gedung tuanya, legalnya ganja, dan yang terakhir adalah redlight. Kali ini saya ingin menuturkan pendapat saya tentang ganja di kota ini.

Pertama kali pergi ke Belanda, khususnya di Amsterdam saya benar-benar punya kesan sendiri. Saya tinggal bersama dengan teman saya dari Indonesia dan Italy. Hari pertama di Amsterdam, saya diantar oleh Patrick, teman seorang keturunan Italy. Sudah beberapa tahun dia tinggal di Ams, dan sangat menyukai kota ini karena kebebasan yang diberikan oleh pemerintah Belanda kepada masyarakat Ams, salah satunya adalah kebebasan konsumsi ganja. Seperti diketahui weed termasuk illegal dinegara lain dimanapun.Dia sendiri menanam bibit ganja dirumahnya sebanyak 5 bibit, jumlah yang masih diperbolehkan oleh pemerintah untuk ditanam sendiri, artinya tidak sebagai bisnis. Ini adalah kedua kalinya Patrick menanam ganja. Dulu, dengan 5 bibit itu, dia dapat menghasilkan 400 gram bunga ganja.

Saya dan Patrick menaiki kereta sekitar 10 menit dari tempat nya. Setelah sampai dia membeli pupuk di coffee shop dipusat kota. Saya merasa saya berada di negeri entah berantah karena baru kali itu saya masuk ke toko yang menjual ganja secara terbuka, dan siapapun dapat masuk.Patrick membandingkan beberapa coffee shop untuk meyakinkan diri bahwa pupuk yang dia beli adalah tepat.Harga dua botol pupuk (100 ml per botol) adalah 54 Euro, ah sungguh mahal menurut saya.

Harga dari ganja paling rendah adalah 8 Euro untuk 1 gram.Saya bertanya kepada Patrick berapa lama dia menghabiskan 1 gram ganja? Dia menjawab hanya satu hari..ow wow..jadi setiap hari dia menghabiskan 8 Euro hanya untuk segram ganja? Saya sendiri heran kenapa bisa seperti itu. Ganja disana dikesankan sebagai herbal yang tak berbahaya. Saya sendiri setuju dengan hal itu, tetapi sifat adiktif nyalah yang membuat saya berpikir dua kali apakah hal ini dapat dianggap legal atau tidak. Apalagi untuk mengkonsumsinya, seseorang mencampurnya dengan tembakau yang jelas berbahaya bagi kesehatan. Patrick sendiri, dia menkonsumsi nya sekitar 3-5 batang perhari (tembakau dicampur dengan ganja)

Saya berpikir bahwa orang yang mengkonsumsi ganja adalah orang jahat, tetapi ternyata saya salah besar. Saya justru diperlakukan dengan sangat baik. Saya ngobrol dengan beberapa orang yang ada di coffee shop, dan mereka bilang, selama ini hampir tak ada wanita Asia, yang konsumsi. Ganja tidak membuat Anda jahat, membunuh seseorang, ataupun lupa diri. Tetapi memang ganja membuat anda addictive. Saya sendiri tidak berminat untuk mencoba selama efeknya akan membuat kita ketagihan dan terutama dikonsumsinya mesti dengan tembakau.

Kota ini membuat banyak orang betah karena kebebebasan melakukan sesuatu dengan damai. Bagi teman saya, Patrick, kota ini adalah surga dunia yang menawarkan kebebasan berekspresi. Saya setuju dengannya dan saya juga menyukai kebebasan yang diberikan oleh pemerintahnya.  Tetapi satu hal, bagi saya yang bukan perokok, dan bukan pengkonsumsi ganja, saya kurang menyukai bau kota ini, sudut kota, tercium bau ganja dan tembakau. Mungkin sebaiknya perlu adanya peraturan tertentu, supaya bau asap tersebut tidak tercium, seperti yang dilakukan Stockholm untuk mengurangi bau asap rokok.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun