Penulis sebagai santri yang juga menghadapi babak sejarah hidupnya dengan berbagai faktor sosio-historis yang sangat beragam,namun tetapi tidak mengurangi komitmen penulis pada agama yang dianutnya, serta mampu menjadikan penulis memahami dan menyandingkan wacana tradisionalitas dan modernitas. Komitmen terhadap keberlangsungan tradisi pesantren merupakan konsekuwensi logis yang dihadapi penulis untuk melanjutkan tradisi yang ditinggalkan oleh para leluhur. (Mas'ud, 2019: 61) Walaupun penulis menyerap pemikiran-pemikiran baru secara rasional dan proposional namun penulis tetap berupaya obyektif dan open minded. Usaha-usaha penulis dalam mencoba bertaqlid secara proposional pada doktrin ajaran pesantren dan NU.Â
Oleh sebab itu dalam merespon Muhammadiyah, penulis tetap berusaha mengedepankan sikap moderat walaupun antara warga NU dan Muhammadiyah terdapat perbedaan prinsip dan pemahaman dalam menginterpretasikan Qur'an dan hadis. (Mas'ud, 2019: 62) Selain memaparkan tentang wajah Islam, penulis juga memaparkan bagaimana seharusnya Memperluas dialog cross cultural. Bahwa disetiap budaya tidak memahami budaya yang lain.Â
Dengan mengacu pada survei PBB menunjukkan kegagalan dunia dalam memahami penderitaan-penderitaan manusia. cross cultural understanding ternyata masih menjadi persoalan utama dimana-mana. Secara ideal dimana saja pasti ada yang menyuarakan ajakan dan upaya untuk saling memahami antara kebudayaan dan peradaban tapi empiris membuktikan lain.(Mas'ud, 2019: 77-78)
Pada bagian kedua penulis menyuguhkan kepada pembaca tentang Islamic Studies and Pesantren. Pada pembahasan kedua  ini merupakan kumpulan tulisan penulis pada saat menempuh pendidikan S2 dan S3 di UCLA AS. Paper-paper didalamnya memuat berbagai bidang pembahasan, seperti pendidikan Islam, sosiologi, sejarah Islam, filsafat dan perbandingan Islam.Â
Karya-karya tulis penulis tersebut memaparkan tentang keadaan Islam yang ramah yang didakwahkan oleh Rasulullah, yang pada setiap permasalahan lebih memilih jalan damai. Selain paparan tersebut penulis juga menyuguhkan keadaan kontemporer yang berkontribusi terhadap kebangkitan Islam. Penulis juga menulis tentang madrasah Nizamiya, yang merupakan madrasah pertama yang dibangun oleh umat Islam dan menjadi madrasah sebagai model institusi pendidikan tradisional pada abad pertengahan Islam. Terlepas dari pembahasan Islam abad pertengahan penulis juga menyuguhkan kepada pembaca tentang pesantren yang ada di Indonesia terkhususnya pesantren yang ada di pulau jawa serta paham sufis yang berkembang di jawa.
pembahasan ke tiga yaitu tentang dialog Islam dan barat. Pada awal pembahasan penulis memaparkan tentang mainstrim dunia Islam sunni, serta mengambarkan sunni yang tidak fundamentalis dan tidak teroris. Ditandai dengan salahsatunya lebih mengutamakan konsep jama'ah, mayoritas dan supremasi sunnah, hingga dijuluki sebagai ahlu sunnah wal jama'ah. (Mas'ud, 2019: 203)Â
penulis memberikan definisi terorisme dengan merujuk pada literatur sosiologi barat. Bahwa teroris adalah salahsatu bentuk aksi bermotif politik yang menggabungkan unsur-unsur psikologi dan fisik yang dilakukan oleh individu-individu atau kelompok kecil dengan tujuan tuntutan terorisme terpenuhi. Senada juga yang dikutip oleh penulis dari pandangan intelektual muslim asal India bahwa terorisme merupakan fenomena politik dan sosial saja yang dibatasi oleh ruang dan waktu.Â
(Mas'ud, 2019: 205) Salah pemahaman terhadap makna jihad yang berkembang dikalangan masyarakat garis keras terkhususnya yang ditujukan kepada "umat Islam" sehingga menimbulkan kekacauan dan menjadikan image Islam khususnya dimata dunia barat menjadi sah untuk dipandang sebagai agama jihad atau agama kekerasan. (Mas'ud, 2019: 208) Namun pemahaman ajaran Islam yang dijalankan oleh kaum ekstrisme tersebut bertolak belakang dengan ajaran Islam yang sebenarnya. Islam dalam ajaran dasarnya menawarkan kedamaian dari peperangan sebagaimana yang diajarkan oleh pemimpin sekaligus teladan  umat Islam sejati nabi Muhammad SAW. Sebagaimana yang dikutip oleh penulis tentang pendapat Royster bahwa nabi Muhammad telah mengajarkan kebenaran dengan ucapan dan mengamalkan kebenaran itu dalam kehidupannya.
Dengan adanya salah paham dan salah prespektif dengan dunia Islam maupun barat penulis menawarkan untuk membuka lembaran baru dialog Islam barat. Â Dalam pidatonya penulis pada saat pengukuhan guru besar di IAIN Walisongo pada tahun 2004. Dalam pidato tersebut, penulis menyuarakan untuk mengadakan sebuah dialog sebagai pemersatu dan langkah toleransi antara umat beragama maupun budaya baik Islam maupun barat. Dengan langkah open mindet terhadap barat maupun Islam. Bahwa tidak memandang barat hanya sebatas fenomena Bush adalah suatu penyerderhanaan yang tidak bisa dipertanggungjawabkan, dan kalau hanya melihat Islam hanya dengan kata jihad dengan mendistorsikan subtansinya adalah satu kepicikan. Penulis memaparkan berbagai kasus yang terjadi di luar (timur tengah) maupun di Indonesia.Â
Jika diteliti lebih cermat bahwa belum sebanding dengan warna Islam itu sendiri yang penuh dengan kedamaian. Artinya bahwa wajah Islam secara umum lebih dominan menampakkan panorama kedamaian dari pada kekerasan. Bahkan bisa diteorikan: jika suatu negara berpenduduk mayoritas muslim maka non muslim dinegara tersebut pasti aman, terlindungi hak-haknya dan dijamin kedamaian kehidupan sosio-religius mereka. (Mas'ud, 2019: 227-228). Jadi bisa diantisipasi bahwa dialog positif dalam bentuk apapun pasti akan membawa hikmah dan berkah pada dunia tersebut, sebagaimana yang dipaparkan penulis pada awal pembahasan.
Dialog kemanusian solusi atas injustice sistem global. Pada pembahasan ini penulis memberikan kritik terhadap Bush sebagai pembeli utama ide huntingtondengan berhipotesa bahwa perang peradaban di masa mendatang tidak bisa dihindarkan, konflik itu adalah hubungan dunia barat ( mayoritas kristen) dengan selainnya. Penulis menganggap bahwa Huntingtong telah melakukan overgeneralisasi. Bahkan para ilmuan ASpun seperti Donald Emmerson memberikan kritik, bahwa Huntington tidak mengakui heteroginitas peradaban barat.Â