Siapa yang tidak ingin menulis buku yang kelak menjadi buku best-seller? Atau, penerbit mana yang tidak ingin menerbitkan (calon) buku best-seller? Ajaib kalau ada penulis atau penerbit yang mengangkat tangan setelah mendengar pertanyaan itu. Pada umumnya, buku best-seller menjadi impian penulis dan penerbit. Penulis merasa bahagia karena karyanya dibaca oleh puluhan atau ratusan ribu bahkan jutaan orang dan namanya—meskipun tidak selalu—turut diperhitungkan sebagai penulis papan atas. Kebahagiaan itu kemungkinan besar akan bertambah seiring derasnya aliran royalti ke kantong penulis. Penerbit tidak kalah semringahnya karena saldo laba perusahaan terus meningkat dan namanya (semakin) terdongkrak sebagai penerbit yang layak dilirik oleh penulis ternama.
Ya, buku best-seller itu impian. Tapi bagaimana cara mewujudkan impian itu? Dalam sebuah forum di dunia maya, seseorang berpendapat bahwa buku best-seller itu misteri. Kenapa? Karena kualitas konten buku tidak selalu berbanding lurus dengan angka penjualan. Jadi, sambungnya, tidak ada rumus untuk membuat buku best-seller. Hm, benarkah demikian? Bukankah misteri bisa dipecahkan? Inilah catatan untuk penerbit.
Mengapa Buku Menjadi Best-Seller?
- Best-Content
Apakah buku best-seller selalu berarti best-content? Tentu harus begitu. Sebagai contoh, sebagian novel best-seller yang diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa adalah novel-novel yang menakjubkan dan dipuji oleh kritikus-kritikus sastra dunia. Sebut saja contohnya The Alchemist, The Curious Incident of the Dogin the Night-Time, Perfume, To Kill A Mockingbird, dan The Kite Runner. Dalam genre nonfiksi sebut saja The Art of Loving karya Erich Fromm, The Black Swan: The Impactof Highly Improbable, dan The Secret.
Namun, tidak sedikit pula buku best-seller yang tidak best-content. Tentu Anda tahu novel Ayat-Ayat Cinta dan Laskar Pelangi. Keduanya termasuk novel fenomenal karena luar biasa best-seller. Betapa larisnya kedua novel itu yang berarti betapa banyak orang yang suka pada kedua novel itu. Tapi apa kata (seorang/sebagian) kritikus sastra soal kedua novel itu? Ayat-Ayat Cinta dianggap sebagai novel populer. Sementara itu, Laskar Pelangi dianggap sebagai karya yang ditulis dengan bakat alam sastranya, tetapi tanpa intelektualitas sastra. Ya, demikianlah kata pakar sastra. Tapi, berapa banyak orang yang tahu atau peduli akan pendapat para pakar? Terserah lu mau bilangapa! Kalo menurut gue enak dibacaya gue suka. Barangkali begitu orang banyak berucap.
Penentu best-seller-nya buku sudah jelas: angka penjualan! Itu artinya, pembelilah penentunya. Lalu, siapakah penentu kualitas konten buku? Para pakar memang bisa dijadikan rujukan, tetapi hanya pembaca itu sendiri yang bisa menentukan kualitas konten suatu buku, setidaknya menurut standar pribadi. Terkadang pembeli malah tidak mempedulikan kualitas konten. Bisa jadi mereka membeli buku karena penulisnya adalah teman dekatnya atau tetangganya, karena layout-nya atau kovernya bagus, atau karena-karena lainnya. Namun, dengan "mengambil" naskah dengan best-content, penerbit punya lebih banyak peluang untuk menjadikannya buku best-seller.
- Kontroversial
Buku yang kontroversial kemungkinan besar akan menjadi buku best-seller. Alasannya sederhana saja: buku itu mengundang perhatian, setidaknya bagi dua pihak atau lebih yang berkeberatan dan mendukung isi buku itu. Karena mengundang perhatian, buku itu sering dibicarakan, diperdebatkan.
Kalau Anda penggemar novel, mustahil jika Anda tidak tahu novel Saman. Penerbit Saman terheran-heran karena novel seserius itu bisa laris-manis seperti kacang goreng (sebenarnya saya tidak suka menggunakan perumpaan yang kelewat populer ini). Jadi, adalah hal yang mengherankan kalau novel serius dan berkualitas bisa menjadi novel best-seller (tentu saja dalam konteks Indonesia). Hm, barangkali itu berarti masyarakat Indonesia sudah naik kelas? Mari kita pertimbangkan faktor lainnya.
Saman adalah pemenang Sayembara Novel DKJ tahun 1998. Dengan begitu, Saman diperbincangkan di kalangan pecinta sastra. Jelas, itu poin penting menuju best-seller. Yang mencengangkan, Saman menarik perhatian publik di luar kalangan pecinta sastra atau kalangan yang belum melek sastra. Salah satu penyebabnya adalah kevulgaran novel itu dalam mengupas seksualitas sehingga menimbulkan kontroversi. Wow, betapa hebat dampaknya. Itu yang saya rasakan setelah membaca artikel di suatu blog. Dalam blog itu, para komentator langsung menyatakan ketertarikannya untuk membeli Saman setelah diiming-imingi beberapa kalimat terakhir dalam halaman-halaman terakhir Saman.
Nasib The Girls of Riyadh saya kira tidak berbeda dengan Saman. Walaupun dilarang beredar di negerinya sendiri, Arab Saudi, novel itu diterjemahkan ke dalam banyak bahasa. Memang, buku yang kontroversial sering kali membahayakan penulisnya. Tapi, itu pula yang menjadikan penulisnya berpeluang menerima lebih banyak royalti daripada peluang penulis yang bukunya tidak kontroversial.
- Sesuai Tren
Tren selalu ada dan berubah-ubah. Sekitar sedekade yang lalu, teenlit berjaya. Buku-buku agama konon menjadi selebritas pada bulan puasa. Novel-novel fantasi pun bermunculan setelah suksesnya Harry Potter. Pada masanya pun novel-novel berbau terorisme diincar pembaca seiring dengan maraknya aksi terorisme. Memang, tren bersifat sementara. Tapi bukanlah dunia juga bersifat sementara? Jadi, mengapa penerbit tidak memanfaatkan tren buku?
Bagaimana Mem-best-seller-kan Buku?
- Menggandeng Penulis Ternama
Buku yang ditulis oleh penulis yang namanya sudah diakui dalam jagat perbukuan memang memiliki peluang yang lebih besar untuk menjadi buku best-seller. Namun, tentu tidak mudah bagi penerbit yang muda dan belum banyak berpengalaman yang artinya namanya belum berkibar untuk menggaet penulis ternama. Keberhasilan editor akuisisi untuk melobi sang penulis ternama bisa menjadi anugerah sendiri untuk jenjang kariernya di dunia penerbitan. Tentu saja nama baik penerbit dalam menunaikan royalti dan menghargai karya-karya penulisnya menjadi poin penting untuk diperhatikan oleh penulis sebelum menawarkan naskahnya. Poin itulah yang saya dapat di antara poin-poin lainnya dalam tips memilih penerbit.
- Dekati Pemenang Lomba
Untuk poin ini, saya tidak punya contoh kasus selain Sayembara Novel DKJ. Menerbitkan buku pemenang suatu lomba adalah pilihan yang cerdas. Tidak heran kalau para pemenang Sayembara Novel DKJ langsung dikontak oleh banyak penerbit. Penerbit yang menjadi pemenang tidak selalu penerbit besar walaupun peluang penerbit besar memang lebih besar. Penerbit Mahatari (tidak terkenal bukan?) pernah mendapat proyek menerbitkan novel juara pertama (Dadaisme) dan kedua (Geni Jora) lomba novel DKJ tahun 2003.
- Berdayakan Editor
Novel best-seller pada awalnya tidak selalu berupa naskah sempurna. A Time To Kill contohnya. John Grisham, penulisnya, telah menawarkan naskah itu ke banyak penerbit (saya lupa berapa tepatnya, tapi lebih dari 20 penerbit). Tidak satu pun yang menerimanya sampai akhirnya salah satu penerbit bersedia menerbitkannya dengan satu syarat. Editor di penerbit itu, Bill Thompson, meminta John Grisham untuk memangkas novelnya dan jadilah 300 halaman dari 900 halaman dibuang. Tapi apa dampaknya? A Time To Kill menjadi novel best-seller dan diterjemahkan ke dalam banyak bahasa, termasuk bahasa Indonesia.
Menurut beberapa kritikus, karya-karya Ernest Hemingway mengalami penurunan kualitas setelah tidak diedit oleh Max Perkins. Sehebat apa pun penulis, ia membutuhkan orang lain untuk membaca karyanya dengan lebih berjarak dan dengan sudut pandang yang berbeda. Editor yang hebat sering kali ada di balik buku yang hebat dan tentu saja best-seller.
- Terjemahkan Buku Best-Seller
Memang tidak mudah mendapatkan calon buku best-seller. Cara termudah untuk menjual buku best-seller ya dengan menerjemahkan buku best-seller. Bisa dibilang ini cara aman karena buku itu sudah punya nama. Tapi bukankah buku best-seller sering kali dijadikan rebutan oleh para penerbit? The Art of Loving karya Erich Fromm pada awalnya diterbitkan oleh Fresh Book. Tidak lama kemudian, Gramedia Pustaka Utama menerbitkannya juga. Saya mencari buku itu di salah satu search engine salah satu toko buku online. Yang ditampilkan terbitan Gramedia. The Alchemist-nya Paulo Coelho pun demikian. Setahu saya, The Alchemist lebih dulu diterbitkan oleh Alvabet dengan judul Sang Alkemis. Kemudian, Gramedia menerbitkannya juga. Karena saya ingin tahu nasib Sang Alkemis, saya cari buku itu di toko buku online yang sama. Yang keluar lagi-lagi terbitan Gramedia.
Mengapa Gramedia lebih unggul untuk kasus kedua buku itu? Saya tidak tahu persis soal The Alchemist. Tapi saya tahu kalau Gramedia mengantongi hak penerbitan The Art of Loving, sedangkan Fresh Book—yang notabene penerbit kecil—tidak.
- Tambahkan Endorsement Sang Tokoh
Sebagian pembaca (baca: calon pembeli buku) butuh diyakinkan agar hatinya tergerak untuk membeli sebuah buku. Dalam hal inilah endorsement sangat penting. Tokoh atau orang yang memberikan endorsement bisa berasal dari kalangan tertentu sesuai dengan isi buku atau dari beberapa kalangan yang berbeda untuk melihat apakah buku itu bisa dibaca oleh banyak kalangan.
- Buatlah Orang-Orang Membicarakannya
Mungkin saja Laskar Pelangi tidak akan terlalu booming kalau Andi F. Noya tidak “menendangnya” ke acara Kick Andy. Atau, andai saja para kritikus sastra, terutama yang sangat menjaga norma Timur, tidak terlalu keras berkoar-koar tentang Saman, barangkali Saman tidak akan sampai diterjemahkan ke dalam bahasa Jerman, Belanda, Inggris, dan Prancis. Manfaatkan pula halaman resensi buku di koran dan dunia maya. Gaet peresensi ternama dan bloger untuk lebih mencetarkan gaung keberadaan buku.
- Buatlah Mereka Menghampiri atau Mengeklik Buku Anda
Kalaupun Andi F. Noya dan para kritikus tidak berhasil digaet, penerbit masih punya cara lain untuk menjadikan bukunya sebagai buku best-seller. Judul, kover, dan layout yang menarik adalah salah satu jalan untuk membuat pengunjung toko buku (online) menghampiri atau mengeklik buku Anda.
- Masanya Toko Buku Online!
Dulu tidak ada toko buku online. Mau lihat buku ya ke toko buku. Sekarang, cukup duduk di depan komputer dan klik-klik, beberapa hari kemudian, diantarlah buku yang dipesan. Simpel dan tidak terkena risiko kaki pegal karena terlalu lama berdiri di toko buku. Jadi, kerja sama dengan toko buku online adalah salah satu pemulus jalan bagi penerbit untuk mem-best-seller-kan buku-bukunya. Beberapa penerbit bahkan membuat toko buku online khusus untuk menjual buku terbitannya.
Di toko buku online, memang calon pembeli hanya bisa melihat review, tidak bisa melihat isi buku. Singkat berupa kalimat di sampul belakang buku dan (kalau ada, tapi sangat jarang) resensinya. Google Books-lah yang memfasilitasi apa yang tidak bisa difasilitasi oleh toko buku online. Buku-buku yang “dipajang” di Google Books bisa dilihat isinya walaupun dalam jumlah halaman yang terbatas.
-------
Saya tidak tahu apakah tulisan ini bisa memecahkan misteri buku best-seller atau tidak. Jika tidak, pasti masih banyak faktor lain yang menyelimuti misteri itu. Silakan tambahkan opini Anda.@
NB: Contoh kasus dalam tulisan ini kelewat jadul? Harap maklum... :)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H