Mohon tunggu...
Nur Hasanah
Nur Hasanah Mohon Tunggu... Editor - Peminat sastra

Peminat sastra

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Muara Cinta Itu Bernama "Kampung Halaman"

14 Juni 2013   00:08 Diperbarui: 24 Juni 2015   12:03 328
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Namun, penokohan Alif tidak semenarik tokoh Ibu Kos dan Pak Endang, redaktur koran Suara Bandung. Kemunculan dua tokoh tersebut terasa lebih menghidupkan Rantau 1 Muara. Ibu Kos dengan bahasa Sundanya, kucingnya, daster favoritnya, kecuekannya menagih uang kos, hingga foto presiden Soeharto di dinding rumahnya menjelma begitu hidup, begitu menarik. Begitu pula dengan Pak Endang, yang sering memberikan teka-teki berupa pertanyaan TTS, begitu lekat dengan karakternya sebagai pembuat TTS. Debar dan kekesalan karena terjebak pada situasi yang mengharuskan Alif menjawab teka-teki begitu terasa karena Anda mungkin akan ikut mengerutkan kening untuk menjawab teka-tekinya.

Plot

Jika gaya bahasa adalah pintu gerbang untuk pembaca memutuskan untuk melanjutkan membaca atau tidak, plot adalah bagian yang bertugas mendorong pembaca untuk terus membaca hingga akhir cerita. Sayangnya, ketika cukup berhasil dengan gaya bahasanya, Rantau 1 Muara seperti kecolongan pada bagian plot. Banyak bagian dan detail cerita yang tampaknya tak perlu dihadirkan karena tidak terlalu memengaruhi plot atau kalaupun harus tetap dihadirkan, seharusnya tak perlu memakan beberapa paragraf, bahkan halaman. Sebagai contoh, meski “Bab 21 Setan Merah” penting demi menghadirkan alasan agar Alif tak putus asa, rasanya tak perlu adegan pertandingan sepak bola dideskripsikan hingga memakan lebih dari empat halaman. Mungkin cukup dengan dua atau tiga paragraf.

Deskripsi adegan bola itu hanya salah satu contoh. Dalam tataran kalimat pun, narator terkesan berlebihan dalam memberikan petunjuk kepada pembaca. Sebagai contoh pada dialog berikut:

“Ini Amerika masih angan-angan kosong atau sudah benar diurus?” Tawanya kembali menyembur. Pertanyaan ini berhawa kompetensi. Dia selalu tahu bagaimana memancing emosiku. Lihat saja nanti. Kalau aku jadi berangkat ke Amerika, aku akan bisa membungkam gertakan Jerman-nya. (hlm. 152)

Kalimat bergaris tengah itu tak perlu dihadirkan karena toh pembaca sudah bisa menyimpulkannya sendiri. Kepercayaan bahwa pembaca bisa mengerti akan tulisan adalah hal penting harus dipegang oleh pengarang. Dengan begitu, ia tak perlu bertele-tele menjelaskan lagi dan lagi tentang tindakan tokoh. Bertele-tele. Ya, itulah sisi kelemahan Rantau 1 Muara. Karena bertele-tele, plot jadi longgar, adegan peristiwa penting demi peristiwa penting berjalan lamban dan ketika itu terjadi, dikhawatirkan pembaca akan meninggalkan cerita tanpa sama sekali penasaran akan akhir cerita.

Akhir yang Mengejutkan

Berbahagialah bagi pembaca yang setia melalap Rantau 1 Muara hingga bagian akhir karena harta karun cerita novel ini terdapat pada bagian akhir, tepatnya mulai halaman 328. Ya, mulai halaman tersebut hingga halaman terakhir, novel ini menghadirkan sisi dewasanya yang bermuara dari satu pertanyaan—Kenapa harus Indonesia? Kalau mau bermanfaat, di sini juga bisa. Kenapa dewasa? Karena sifat itulah yang harusnya dimiliki oleh Alif dan Dinara setelah merantau bertahun-tahun, setelah mendapati mimpi-mimpi mereka terwujud. Dewasa karena hidup tak lagi melulu tentang diri sendiri, tetapi juga tentang orang lain dan kenapa tidak tentang orang-orang yang begitu dekat kepada mereka, orang-orang Indonesia. Dewasa karena tak perlu terus-menerus takjub pada Amerika karena tujuan hidup yang mulialah yang perlu dikejar.

Betapa satu pertanyaan itu tak hanya menghidupkan kedua tokoh dan narasi bab-bab terakhir, tapi juga mengaduk-aduk pikiran dan perasaan pembaca yang mungkin banyak di antaranya adalah perantau. Satu pertanyaan itu barangkali bisa memulangkan ilmuwan-ilmuwan Indonesia yang mengabdikan diri di luar negeri karena jerih payah mereka dihargai dengan lebih banyak uang. Dan ketika tujuan mulia sudah disandang, dengan berpasrah kepada Tuhan, percayalah, Tuhan akan memberikan jauh lebih banyak daripada yang kita harapkan. Itulah yang terjadi pada Alif dan Dinara. Itulah keyakinan yang Ahmad Fuadi tanamkan lewat Rantau 1 Muara, keyakinan yang semoga juga tertanam pada ilmuwan Indonesia yang sudah dan kelak akan mengabdikan diri untuk Indonesia yang lebih baik.

Sisi dewasa itu adalah mengutamakan cinta. Dan muara cinta itu bernama “kampung halaman”.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun