Sudah lama saya tidak menulis di kompasiana.
Kali ini saya ingin menuliskan pengalaman saya di Masjid Nurul Ashri Jogja.
Tahun 2017, saya melanjutkan studi di UGM, sebelumnya saya tidak pernah ikut kajian-kajian di masjid.
Di masa itu, kajian-kajian sedang mewabah, tren. Dan sebelumnya saya juga sempat anti sama yang namanya kajian pra nikah.
Bagi saya, nikah itu dipelajari sembari dijalani. Begitu saya berpikir dulu.
Semenjak saya berdomisili di Jogja, saya merasakan perbedaan tutur dan kesantunan warganya.
Tidak seambisius kota asal saya. Rasa ke'aku'an merujuk menjadi 'kita'.
Semua serba sederhana. Mungkin itu karena mereka dibekali ilmu agama.
Saya pun mencari info kajian-kajian islam di Jogja melalui Instagram. Saya menemukan banyak akun dan instagram masjid nurul ashri salah satunya.
Kajian hampir selalu ada setiap hari. Sementara waktu saya hanya kepoin akun saja, belum berani ke masjid langsung.
Segan sendirian. Malu ngajak kawan. Lalu, saya cari-cari lokasinya, katanya Google map Daerah Deresan.
Saya yang tinggal di Condong Catur sering melewati Deresan untuk menuju UGM. Tapi masih juga belum bisa melihat masjid yang satu ini.
Hingga suatu sore, saat saya dan Mba Dewi yang juga senior di kampus dan teman sekosan, pulang menjelang maghrib.
Karena takut ketinggalan maghrib, kami pun singgah ke salah satu masjid. Ramai sekali pemuda dan pemudinya.
Mungkin baru selesai jamaah maghrib, begitu saya membatin. Mereka terlihat khusyu membaca al'quran.
Kami sholat seperti biasa. Lalu saat diparkiran saya membaca nama masjid, Nurul Ashri.
Ternyata ini masjid yang setiap hari saya lalui, dekat dengan pesantren SahabatQu.
Saya pun menceritakan ke Mba Dewi kalau masjid ini sering mengadakan kajian dan berbagi buka puasa gratis.
Tapi saat itu saya masih enggan untuk melangkah kan kaki menuju kajian.
Hingga suatu sore, karena kepenatan perkuliahan. Saya pulang lebih awal. Biasanya saya pulang menjelang maghrib.
Saya pun singgah untuk sholat ashar di Masjid Nurul Ashri. Selepas saya sholat. Tiba-tiba semua jamaah berkumpul dan terbagi menjadi dua blok.
Ternyata akan ada kajian. Selagi disini, mungkin bisa dicoba untuk diikuti.
Saya yang baru pertama kali, merasa sangat canggung. Saya memilih duduk paling pinggir. Ternyata banyak yang datang sendiri, tidak bersama teman. Saling menyapa dan salam walaupun tidak kenal. Ada juga yang datang dengan mengenakan celana jeans, berselendangkan jilbab, dan berdandan seperti akan ke mall. Wah, hebat. Mungkin si mbanya mau ke mall, tapi mampir kajian dulu. Begitu batin saya.
Tidak semua yang ikut kajian, jilbabnya sudah ukuran jumbo. Saya yang tergolong berjilbab 'sekedar menutup dada' awalnya merasa minder.
Kajian pun saya ikuti dengan khidmat, Islam yang moderat, santun, begitu batin saya.
Setelahnya saya berniat untuk hadir pad kajian lain.
Saya mengikuti kajian masih tergantung pada judulnya. Saya belum ingat nama-nama ustadznya.
Misi saya saat itu, datang kajian dan beradaptasi dengan lingkungan masjid.
Hingga setelah saya merasa nyaman, saya datang ke masjid untuk sholat ashar dan dengarkan kajian.
Saat itu jamaah ashar sudah selesai. Ketika saya memasuki tempat wudhu, saya melihat ada banyak kecoa bertebaran di lantai.
Aroma pembasmi kecoa masih jelas terhirup. Saya melangkah menghindari kecoa-kecoa. Mungkin sebentar lagi, petugas bersih-bersih akan menyapu kecoa-kecoa ini. Begitu saya membatin.
Mengambil wudhu, lalu sholat ashar.
Selesai kajian, saya kembali mengambil air wudhu terlebih dahulu, sebelum maghrib. Karena tidak ingin berdesak-desakan.
Ternyata kecoa-kecoa masih ada. Saya merasa sedikit terganggu dengan keberadaan kecoa dan tetap berusaha menghindar.
Lalu, seorang perempuan yang umurnya lebih muda dari saya masuk ke tempat wudhu, melihat kecoa yang menghalanginya untuk berwudhu, dia pun mengambil tissu dan memungut kecoa-kecoa tersebut.
Seketika saya merasa ditegur dan tertampar. Kesempatan untuk beramal telah diambil oleh si mba-mba yang lebih muda dari saya.
Kenapa tidak saya kutip kecoanya, ketika saya pertama kali lihat. Kenapa harus menunggu orang lain.
padahal, ini adalah fasilitas bersama dan tempat ibadah.
Astghfirullah, saat itu saya merasa sungguh saya manusia yang masih sombong.
Merasa itu bukan tugas saya dan mungkin merasa bahwa saya tidak layak bersih-bersih.
Untuk menghilangkan rasa bersalah saya pada diri saya sendiri, saya turut mengutip kecoa, 2 atau 3.
Selebihnya sudah diambil sama si mba-mba muda tadi dan beberapa temannya. Sepertinya mereka anak pesantren sebelah masjid.
Hanya sekali itu saya melihat kecoa di tempat wudhu. padahal saya berniat untuk melakukan lagi jika kejadian ini terulang.
Kini, di tempat domisili saya. Sulit menemukan masjid dengan kajian sebanyak masjid-masjid di Jogja.
Saat ini saya merindukan Masjid Nurul Ashri. Tempat dimana saya banyak belajar. Tidak hanya ilmu agama tetapi juga kesantunan.
Terimakasih kepada si mba, yang sudah menjadi contoh teladan melalui perilaku baiknya.
Semoga kita bisa terus belajar menjadi sebaik-baik insan.
Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H