Mohon tunggu...
nurhanifahrizky
nurhanifahrizky Mohon Tunggu... Administrasi - Menulis untuk menebar manfaat

Belajar sepanjang hayat

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Mau Curhat, Eh Malah Dicurhatin

17 Januari 2019   10:09 Diperbarui: 17 Januari 2019   13:02 340
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik



Kita pasti pernah ingin berbagi cerita dengan orang-orang yang dekat dengan kita, seperti ayah, ibu, kakak, adik atau teman yang terbilang "dekat". Tapi proses berbagi cerita ini tidak selalu mudah, khususnya pada teman yang dapat dikatakan "dekat" ini. Dekat atau dengan istilah asing "closed" tidak selamanya bermakna "dekat".

Saya sendiri sebelum berbagi cerita, seringkali saya merangkai cerita macam apa atau alur yang bagaimana yang nantinya akan saya sampaikan. Tapi sebelum dan sesudah itu ada proses yang berulang dilakukan yaitu memilih bercerita atau dipendam saja. Akhirnya saya memilih untuk berbagi cerita.

Sebagaimana yang ternyata "umum" terjadi adalah pada awal saya mulai bercerita, tidak cerita belum dimulai, saya baru saja mengatakan dua atau tiga kata yang mengarahkan ke topik cerita saya, lalu teman saya yang "dekat" ini langsung mengambil alih "mikrofon". Saya tidak marah, tentu tidak marah, saya hanya balas tersenyum atau berwajah simpati. Ekspresi normatif sebagaimana topik cerita. Ekspresi normatif untuk menutupi kekesalan. Ekspresi normatif yang sebagiannya adalah kepura-puraan. Jangan-jangan itu juga merupakan ekspresi normatif yang menutupi kemunafikan, sebab ketidakjujuran yang terpaksa atau sengaja.

Di sela-sela cerita teman "dekat" itu yang telah mengambil alih "mikrofon" tentu masih ada keinginan untuk berbagi cerita. Beberapa jeda dianggap kesempatan untuk dapat memulai kembali cerita. Tapi kesempatan itu pun berkali-kali hilang. Sabar menanti agar cerita kembali digelar. Alhasil cerita sudah tidak menarik lagi.

Sekali dua kali dimaklumi. Mungkin dia lebih membutuhkan pendengar. Ternyata cerita dia lebih menyedihkan, maka aku harus bersyukur dengan apa yang ada kini. Tapi kali-kali berikutnya terjadi lagi, lagi, dan lagi. Mungkin cerita saya memang tidak menarik, bukan, tepatnya bukan cerita, tapi hidup saya. 

Keinginan untuk bercerita mulai berkurang pun jika diminta untuk bercerita. Sebab pernah dan tidak jarang, artinya sering, ketika diminta menceritakan tentang suatu hal, belum juga klimaks sudah diimbuhi dengan cerita yang meminta tadi.

Pada satu kesempatan tentu perihal berbagi cerita yang tidak pernah tuntas ini akan disampaikan karena sudah merasa "dekat" dan tidak ingin ada rasa tidak enak. Tapi saat terjadi lagi, semakin tidak enak untuk menjelaskan ulang perihal yang sama. Pada kesempatan lain, saat menyampaikan cerita tetapi yang meminta asik dengan dirinya, memang cerita ini tidak membutuhkan antusiasme siapa pun. Tapi kenapa meminta bercerita jika ternyata hanya basa-basi atau normatif dalam percakapan antar teman "dekat".

Perihal berbagi cerita ini tidak bisa selalu dianggap sepele. Meskipun kita mengenal buku harian, blog atau media sosial, "tempat" dimana cerita menjadi konsumsi publik. Tapi tentu tidak semua orang bisa melakukannya atau "tempat" itu memang tidak mampu memahami, sebab berbagi cerita butuh "nyawa" yang dapat memahami, "nyawa" yang memiliki "rasa" yang sama.

Memendam cerita ternyata tidak selalu baik. Beberapa orang bahkan mengalami depresi berkepanjangan. Beberapa lainnya memiliki perilaku yang tidak sesuai norma masyarakat. Beberapa lainnya lagi menindaklanjuti dengan bunuh diri. Kebanyakan yang lainnya akan memberikan berbagai macam justifikasi. Ada yang akan menyalahkan, memberi label bodoh karena tidak mampu mengatasi masalah. Ada yang kasihan tapi terus saja menceritakan dan mengorek-ngorek latarbelakangnya. Bermacam-macam.

Pada umumnya solusi yang ditawarkan adalah berdekat-dekatlah dengan Tuhan, Sang Maha Penulis Skenario. Tentu solusi ini tidak dapat dibantah, terkhusus bagi yang ber-Tuhan. Bukan berarti yang mengakhiri hidup tidak lagi ber-Tuhan. Bisa saja dia ingin lebih cepat menemui Tuhannya untuk lebih berdekat-dekat. Siapa yang tahu. Bisa saja memang skenario seperti itu.

Bisa saja dia memilih mengambil skenario terburuk, sebab dalam hal ini ada kemampuan untuk memilih. Tapi yang menjadi titik balik adalah apakah si teman yang dapat dikatakan "dekat" tadi, tidak pernah merasakan hal yang sama dari teman lain yang masuk dalam golongan teman "dekat". Wallahu'alam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun