Saya pernah merasa salah atau lalai dalam berkendara ini dan sudah siap-siap untuk menerima makian atau bentakan, setidaknya klakson dari pengendara lain. Tapi, prediksi saya salah. Semua adem ayem saja, saya tersadar bahwa ini Jogja bukan Medan. Lalu saya berpikir kembali, kenapa saya tidak ditegur atau diklakson. Mungkin memang begitu budaya pengendara di Jogja mengajarkan pengendara lain, agar sadar dengan sendirinya.
Di satu sisi saya senang, karena saya tidak mendapatkan bentakan atau klakson-klakson "riang" sebagaimana yang umum terjadi di Medan. Tetapi di sisi lain saya merasa seakan saya tidak diperdulikan oleh pengendara lain. "Selama saya tidak terganggu ya silahkan yang lain memiliki jalannya dan saya dengan jalan saya", begitulah yang sempat saya pikirkan isi kepala pengendara-pengendara lain saat itu. Apa pun alasannya, budaya tetaplah budaya. Pengendara memang harus berhai-hati dan bijak.
Nah di Medan, bahkan ada pengendara yang selalu membunyikan klakson setiap kali ingin mendahului pengendara lain. Tentu ini pengalaman saya sendiri dan kejadian ini tidak hanya sekali, dan tidak selalu sering terjadi. Ntah karena klakson si pengendara sedang ada korsleting atau ada alasan lain. Tapi apa pun itu jelas si pengendara belum paham penggunaan klakson dengan bijak.
Seberapa buru-burunya pun si pengendara, alangkah lebih baik untuk berangkat lebih cepat atau saya pikir tidak perlu sebegitu seringnya menyalakan klakson. Sebab tidak hanya saya yang terganggu, pengendara di sekitarnya juga merasakan hal yang sama. Pengendara lain yang didahui si "ramah klakson" itu bahkan balas membalik dengan klaksonnya. Belum lagi si sopir angkutan umum yang sangat-sangat "ramah klakson". Tindakan ini bukti bahwa klakson yang tidak bijak akan benar-benar sangat mengganggu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H