Tentu tidak sama dengan menyampaikan riwayat anak yang mengalami penyakit akut seperti diare atau batuk. Tetapi sering kali tenaga medis sendiri tidak menyadari atau tidak mempertimbangkan perasaan orangtua ketika melakukan pengkajian riwayat kesehatan anak, padahal beberapa orangtua seringkali menangis dalam ceritanya.
Keempat, orangtua seringkali dibayangi kematian akan anaknya. Bayangan akan kematian anak bahkan hadir saat anak dalam kondisi stabil. Prognosa medis seringkali memberikan kalkulasi usia anak mampu bertahan, orangtua akan semampunya memberikan momen-momen terbaik sampai akhir usia anak.Â
Suatu rasa syukur tak terhingga jika anak mampu bertahan lebih lama dan memiliki kondisi yang stabil, tetapi bayangan kematian dan rasa kehilangan akan tetap ada dan terasa menyakitkan bahkan ketika melihat anak sedang bermain-main dan tertawa riang.
Saat kita melihat anak dengan penyakit kronis seringkali kita fokus pada penyakt anak dan kondisi anak tanpa mempertimbangkan bagaimana perasaan orangtuanya.Â
Siapa pun kita dan bagaimana pun kondisi orang yang ada di sekitar kita bahkan seberapa penasaran kita akan kondisi tersebut sebaiknya pertimbangkan terlebih dahulu untuk bertanya terkait kondisinya. Mempertimbangkan perasaan lawan bicara tentu sudah menjadi tata krama yang diajarkan sejak duduk di bangku sekolah dasar, 'tenggang rasa' begitu istilahnya. Saya sarankan untuk membaca lebih lanjut penelitian tersebut dengan sumber referensi dibawah ini.
Sumber Referensi:Â 10.5555/conu.2006.23.2.228Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H