Mohon tunggu...
nurhanifahrizky
nurhanifahrizky Mohon Tunggu... Administrasi - Menulis untuk menebar manfaat

Belajar sepanjang hayat

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Duka Kronis pada Orang Tua: Saat Anak Berhadapan dengan Kematian

26 Desember 2018   13:53 Diperbarui: 26 Desember 2018   14:17 156
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Penelitian kualitatif sebagaimana kita ketahui tidak bertujuan untuk generalisasi pada hasil-hasil penelitiannya. 

Tidak seperti penelitian kuantitatif yang secara gamblang menyebutkan signifikansi hasil-hasil penelitiannya terhadap variabel tertentu, akan tetapi penelitian kualitatif melihat sejauh mana kita sebagai pembaca penelitian tersebut mampu memaknai hasil penelitian yang dilakukan dengan proses yang panjang dan eksplorasi yang dalam pada makna tertentu.

Salah satu penelitian kualitatif yang membuat saya berpikir perlu untuk diulas adalah terkait bagaimana duka atau kesedihan yang dialami orangtua bekerja dengan anak yang memiliki penyakit kronis. 

Penyakit kronis yang dimaksud disini adalah penyakit yang berdampak sigifikan pada ketidakmampuan fisik, emosional atau kognitif yang dialami selama lebih dari 6 bulan dan membutuhkan perawatan medis berkelanjutan. Penelitian ini sudah cukup lama dipublikasi yaitu tahun 2007, akan tetapi hasil-hasilnya masih relevan untuk dimaknai.

Tulisan ini saya fokuskan tentang bagaimana orangtua yang memiliki anak dengan penyakit kronis akan memiliki rasa duka atau kesedihan yang kronis. 

Pertama, kesedihan yang dialami orangtua yang paling berdampak pada emosional adalah jika anak mendapat diagnosis penyakit sesaat setelah lahir. Setiap orangtua memiliki harapan yang besar dan memiliki perasaan bahagia yang tinggi atau euforia saat menyambut kelahiran bayi. Semua perasaan tersebut seakan-akan remuk bercampur aduk sesaat ketika dokter menyampaikan vonis diagnosanya. Harapan-harapan sirna, orangtua menjadi shock dan tidak mampu berkata apa-apa.

Kedua, sebagian orangtua akan memberikan respon marah dan menolak diagnosa yang disampaikan dokter. Orangtua seringkali akan menyalahkan proses persalinan yang mana tidak sepenuhnya atau sama sekali tidak dipahami. Terlebih jika selama kehamilan tidak ada tanda-tanda yang menunjukkan anak mengalami masalah kesehatan. Maka dalam hal ini, tenaga medis paling sering menjadi sasaran atas ungkapan ekspresi yang wajar. Marah merupakan ekspresi yang wajar dalam konsep berduka, sehingga tidak sewajarnya jika tenaga kesehatan membalas respon tersebut dengan kemarahan.

Pengalaman pertama dan kedua belum menyebabkan duka atau kesedihan yang dirasakan orangtua menjadi kronis. Tapi kesedihan menjadi kronis karena dialami terus-menerus dan berlangsung lama. 

Ketiga, banyak orangtua yang mengalami perasaan sedih kronis karena komentar-komentar dari orang-orang terdekat, seperti teman, keluarga besar bahkan pasangan (suami/istri). Komentar-komentar yang dikeluarkan seakan tidak memikirkan bagaimana perasaan orangtua, mungkin seperti basa-basi yang kelewatan. Seringkali tidak ada rasa penyesalan atau rasa bersalah yang ditunjukkan dari orang-orang yang telah berkomentar.

Komentar yang paling menyakitkan misalnya, disampaikan oleh salah seorang partisipan dalam penelitian tersebut yaitu "my ex-husband, as sson as we walked out of the doctor's office, said he wanted another child. So that hurt. That hurt and I wouldn't give him another one, because no child was going to replace". Bahkan tenaga medis, turut menjadi penyumbang terjadinya kesedihan kronis. Misalnya, dalam melakukan pengkajian riwayat kesehatan anak, sering kali hal ini membuat orangtua kembali mengingat kejadian yang traumatis tersebut.

Bagi orangtua, menyampaikan riwayat kesehatan anak dengan penyakit kronis tidaklah mudah, ini seperti membuka luka lama yang sudah diupayakan untuk dialihkan dengan harapan-harapan yang sering kali sulit untuk diadakan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun