Mohon tunggu...
nurhanifahrizky
nurhanifahrizky Mohon Tunggu... Administrasi - Menulis untuk menebar manfaat

Belajar sepanjang hayat

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Seandainya Bukan Jokowi dan Bukan Prabowo

14 Desember 2018   09:31 Diperbarui: 14 Desember 2018   09:46 226
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik



Politikmemang bukan hanya urusan elit, tapi yang tidak elit akan jadi korban politik. Yah,tidak ada pilihan selain jadi korban politik. Seakan hidup hanya hitam atauputih. Tidak. Hitam-putih disini bukan benar atau salah untuk memilih Jokowiatau memilih Prabowo. 

Inihanya catatan kecil dari segelintir orang yang tidak ingin menjadi kecebongatau kampret. Sekarang ini mudah sekali orang-orang memberikan justifikasipilihan politik hanya dengan sedikit kecondongan "virus politik". Misalnya,salah satu temanku sering kali menggunakan umpatan "Kampret!!". 

Sementara bagiyang terserang virus politik akan mengira "Wah, cebong nih". Atau saat hujanturun, candaan-candaan kehadiran cebong akan hadir dan jadi bahan tawaan. Mendingjika masih tertawa, lain hal jika yang terserang "virus politik" tersinggung. Wah,panjang cerita.

Ceritalain, Pemerintah tentu tidak akan luput dari komentar rakyatnya jadi sah-sahsaja jika memberikan keluhan pada berita di media elektronik atau pun cetak. Bagimereka yang terserang "virus politik" akan memberikan cap pada mereka yangberkomentar "Dasar Kampret". Pilihan politik memang hanya ada dua, tapi bukanberarti yang berkomentar pada petahana bisa langsung digolongkan sebagai pendukunglawan politiknya, begitu sebaliknya. 

Adalagi yang bilang berpolitik jangan lebay, tapi kalau diajak diskusi tahu-tahudia juga tidak bisa netral, panas, saling hujat dan menjatuhkan. Ujung-ujungmalah memutuskan silaturahmi. Kepedulian akan dunia politik tentu harusdisalurkan dengan diskusi atau dialog, akan tetapi seringkali berujung tidakharmonis. 

Bagai cinta dalam hati, pandangan politik lebih baik dipendam saja demimenjaga keutuhan NKRI, demi toleransi, dan Ah, seandainya ada jalan ketiga. Seandainyasaat itu ada poros ketiga. Siapa pun itu asal bukan Jokowi dan asal bukanPrabowo menurutku lebih berpeluang untuk menetralkan panasnya suhu Indonesia. 

Tentusaja segelintir orang-orang seperti aku ini harus memilih. Memilih mereka-merekayang hanya akan terus menerus sampai masuk pemilu berikutnya saling panas,saling hujat, saling menjatuhkan. Sebaik-baiknya tokoh yang diusung jikapengusungnya tidak cerdas dan santun maka apa bedanya jika si tokoh yangmenang? Tentu saja pengusung akan "berfoya-foya" serasa Indonesia kerajaansendiri. Tentu foya-foya disini dapat dipahami tidak bersifat materil. 

Tidakada manusia yang tidak memiliki "cacat", begitu pun kedua calon danpasangannya. Aku dan segelintir orang sepertiku yang masih memiliki keinginanuntuk memilih tentu saja ingin mengenal siapa yang akan dipilih. Beberapa kalidiadakan panggung untuk kedua paslon ini agar kami bisa mengenal lebih dekat. Bukannyamengenal apa visi misi tapi malah kami mengenal aib demi aib dan kebodohan yangdipertontonkan oleh pengusungnya. Ayolah, pesta demokrasi di depan mata, masihada waktu untuk menyusun strategi. Jangan sampai suara golput lebih besar daripada kotak suara.

Seandainyaada yang bukan Jokowi dan ada yang bukan Prabowo. Seandainya,..

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun