Kampung Adat Cireundeu merupakan sebuah kampung yang terletak di Desa Leuwigajah, Kecamatan Cimahi Selatan, kota cimahi, jawa barat. Cireundeu sendiri berasal dari nama "Pohon Reundeu" karena dahulu banyak terdapat populasi pohon Reundeu yang dipergunakan untuk  obat herbal. Itu sebabnya kota ini disebut Kampung Cireundeu.
Sekilas Kampung Cireundeu tidak jauh berbeda dengan pemukiman lainnya. Rumah bertingkat warganya dibangun dengan cara modern. Namun jika dilihat lebih jauh, kita akan menemukan sentuhan kuat kepercayaan kuno yang diwariskan yaitu kepercayaan  Sunda Wiwitan.Â
Ini adalah fakta unik hingga saat ini, yang akan terus  dijaga oleh penduduk Cireundeu. Sunda Wiwitan berasal dari kata sunda dan wiwitan. dapat diartikan bahwa Sunda Wiwitan berarti Sunda asal atau Sunda asli atau disebut juga agama Jati Sunda. Ia diyakini sebagai sebuah agama yang besar. Agama leluhur bangsa yang sangat peduli terhadap alam dan sopan santun.Â
Adapun pandangan masyarakat adat Cireundeu terhadap agama adalah ageman (pegangan) untuk tuntunan hidup (keselamatan) yang tidak bisa lepas dari pemaknaan budaya yang artinya ketika seseorang beragama maka secara tidak langsung dan tidak disadari ia sedang menjalankan dan memaknai budaya yang melekat pada agama yang dianut.Â
Menurut masyarakat yang menganut kepercayaan sunda wiwiwtan, ibadah merupakan pekerjaan. Mereka beribadah atau berhubungan dengan Tuhannya melalui olahrasa atau bersemedi, serta tidak mengenal ruang dan waktu karena berupa hububgan pribadi dan tidak terbatas. Saat beribadah, mereka tidaak menggunakan doa, tetapi lebih kearah menyerahkan diri pada Tuhan. Menerima apa yang diciptakan oleh Tuhan.
Dalam kesehariannya, warga Cireundeu tidak mengonsumsi beras sebagai makanan pokok. Masyarakat kota ini mengikuti anjuran nenek moyang mereka untuk mengkonsumsi singkong.Â
Pengolahan singkong menjadi rasi telah dilakukan oleh penduduk desa adat Cireundeu lebih dari 85 tahun.Hal ini membuat mereka mandiri dalam hal nutrisi. Dapat dikatakan bahwa kehidupan di sini tidak tersentuh oleh gejolak sosial ekonomi, terutama terkait dengan fluktuasi harga beras yang telah menjadi tradisi yang berada di cirendeu.Â
Tradisi ini merupakan upaya untuk menghormati nenek moyang mereka pada masa penjajahan ketika beras dirampas oleh penjajah. Karena itulah, banyak warga Cireundeu yang menanam singkong.
Prinsip ini tertuang dalam falsafah Cirendeu yang berbunyi: "Teu Boga Sawah Asal Boga Pare, Teu Boga Pare Asal Boga Beas, Teu Boga Beas Asal Bisa Nyangu, Teu Nyangu Asal Dahar, Teu Dahar Asal Kuat." Yang memiliki arti "Tidak Punya Sawah Asal Punya Beras, Tidak Punya Beras Asal Dapat Menanak Nasi, Tidak Punya Nasi Asal Makan, Tidak Makan Asal Kuat."
Sunda wiwitan disini sama halnya dengan Sunda Wiwitan di Baduy, sampai saat ini warga Cirendeu masih terjaga keutuhan alamnya. Setidaknya  ada tiga tempat yang harus dijaga  warga di sana, yakni Leuweung Larangan, Leuweung Tutupan, dan Leuweung Babadan.Leuweung Larangan (Hutan Terlarang) adalah kawasan alam yang tidak boleh ditebang pohonnya.Â
Tujuannya adalah untuk menjaga pasokan air yang menopang kehidupan masyarakat adat Cireundeu.Leuweung Tutupan (Hutan Reboisasi) adalah kawasan hutan yang digunakan untuk reboisasi. Di sini warga  bisa memanfaatkan hutan  untuk kebutuhan sehari-hari asalkan areal bekas harus ditanami kembali dengan pohon baru. Leuweung Baladahan (hutan pertanian), yaitu hutan yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat adat Cireundeu untuk berkebun. Biasanya ditanami  jagung, kacang tanah, singkong atau ubi dan umbi-umbian.
Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H