Ibuku cantik. Gaun dan aksesori yang melekat pada tubuh ibu selalu ada nuansa lila.
"Ingat, nama kamu sekarang Li-la"
"Iya buk"
"Panggil saya mami"
"Baik mami"
"Yak, begitu"
Mami telah menyulap ibu dari gadis belia menjadi wanita dewasa. Dan sejak itu mami menyebut ibu woman in purple yang kemudian menjadi buah bibir dikalangan para tetamu. Ibupun menjadi anak kesayangan mami. Namun setelah 10 tahun bekerja untuk mami, seorang pria paruh baya yang 2 bulan belakangan selalu ditemani ibu, berhasil melepaskannya dari mami. Ibupun meninggalkan rumah mewah berlantai 2 yang terletak dikawasan  utara Jakarta itu. Mami yang biasanya keras dan otoriter  hanya berpesan agar ibu tidak ragu bila suatu saat ingin kembali.
Maka, empat bulan sudah ibu tinggal di tempat ini. Sebuah rumah mungil yang berada di pinggiran Jakarta. Lelaki yang membawa ibu ke rumah ini hanya beberapa kali datang dalam seminggu  dan tidak pernah menginap. Namun hari itu sampai tengah malam, lelaki itu belum juga mengakhiri kunjungannya. Aku merasakan suasana hati ibu sangat  tidak nyaman. Tegang, sedih, marah dan kecewa menjadi satu. Aku ingin memeluk ibu, namun kakiku malahan yang meronta-ronta. Aku merasakan tangan ibu mengelusku, menenangkanku.
"Jadi mas tetap tidak mau menikahiku?"
"Aku punya keluarga, tidak mungkin meninggalkan mereka"
"Aku tidak meminta mas meninggalkan mereka, aku hanya ingin dinikahi, demi bayi kita mas..."
"Apakah itu benar anakku, mengapa kamu tidak mencegahnya, mengapa baru bilang sekarang???"
"Teganya mas meragukanku, sejak bertemu mas, mami memberi dispensasi, aku tidak melayani yang lain" ibu menangis, bahunya naik-turun menahan emosi, ingin dijawabnya semua pertanyaan itu, namun lidahnya kelu, ia telah salah menilai pria itu. Sebetulnya ibu ingin mengatakan bahwa ia tidak ingin berzinah lagi, cukup sudah, Ibu ingin taubat. Namun Ibu tidak menyangka akan mendapat respon seperti itu. Hatinya terluka, aku juga merasakan kesedihan ibu dan mengepalkan tangan mungilku. Kemudian aku terkejut mendengar suara berdebam dan raungan mesin kendaraan, selanjutnya senyap. Pria itupun tidak pernah menampakkan diri lagi.
Ibu selalu mengajakku bicara, setiap saat. Dan menjelang ibu tidur, aku akan didongengi kisah kelam kehidupannya. Dulu waktu masih di kampung ada seorang tukang roti keliling yang ingin melamar ibu. Namun ibu menolak karena lebih memilih seseorang yang mengaku mahasiswa yang berjanji akan menikahi asal mau diajak ke Jakarta. Ternyata ibu ditipu, setelah sampai di Jakarta, ia diserahkan pada mami. Ibu diperlakukan dengan baik dan sangat berhutang budi pada mami, sampai akhirnya ibu terpaksa menjalani semua perintah mami. Ibu berkisah sambil berurai airmata.
Malam-malam berikutnya ibu semakin tak nyaman berbaring, tapi tidak menangis lagi. Bahkan ibu selalu memuji pria itu yang katanya ayahku. "Ayahmu sangat baik nak, dia membuka jalan untuk ibu menuju cahaya-Nya". Ya, ibu sekarang lebih banyak beribadah dan berdoa. Seorang ibu muda berjilbab besar disebelah rumah, mengajak  ibu mengaji di rumahnya. Pengajian rutin pekanan yang selalu ibu nantikan. Ibu merasakan ketenangan dan kedamaian bersama teman-teman mengajinya yang sederhana. Ternyata, disalah satu sudut Jakarta ibu menemukan masih ada orang-orang yang baik.
Ketika aku semakin besar  ibu kedatangan emaknya dari kampung. Emak sudah lama ingin menemui ibu, namun ibu tak sanggup bertemu. Ibu yang telah mencoreng muka  emak dan membuatnya dicemooh orang sekampung. Tapi emak tidak pernah sekalipun menyumpahi ibu. Justru untaian doa yang tak putus dilantunkan emak untuk ibu. Emak juga membawa pesan, pemuda tukang roti keliling itu ternyata telah sukses menjadi pemilik pabrik roti. Istrinya meninggal setahun yang lalu ketika melahirkan putra pertamanya. Menurut emak, setelah ibu melahirkan, ia akan datang melamar dan akan memboyong ibu dan aku kembali ke kampung.
----------------------
Sementara itu di sebuah rumah mewah berlantai dua di kawasan utara Jakarta.
"Ingat, nama kamu sekarang Lila, Lii..la"
"Nama kamu sekarang Pinky"
"Nama kamu sekarang Anggi"
" Iya buk..."
"Panggil saya mami, maa...mi !"
Entah darimana mami mendapat pasokan gadis-gadis belia itu. Semoga suatu hari hidayah akan menyinggahi mami.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H