Disleksia merupakan kondisi membaca seseorang yang tidak memuaskan. Seseorang  yang mengalami disleksia memiliki IQ normal, bahkan terkadang di atas rata-rata, namun memiliki kemampuan membaca satu atau satu setengah tingkat di bawah IQnya. (Martini Jamaris, 2014). Seorang ahli pendidikan Mulyadi (2010) memberikan makna yang lebih luas tentang disleksia. Menurutnya disleksia adalah kesulitan membaca, mengeja, menulis, dan kesulitan dalam mengartikan atau mengenali struktur kata-kata yang memberikan efek terhadap proses belajar atau gangguan belajar.
Nini Subini, (2012) menjelaskan disleksia berdasarkan penyebab intern yang dialami oleh seorang individu. Disleksia merupakan satu gangguan perkembangan fungsi otak yang terjadi selama rentang hidup. Disleksia dianggap suatu efek yang disebabkan karena gangguan dalam asosiasi daya ingat (memori) dan pemrosesan sentral yang disebut kesulitan membaca primer. Agar anak  dapat membaca secara otomatis anak harus melalui pendidikan dan inteligensi yang normal tanpa adanya gangguan sensoris. Biasanya kesulitan ini baru terdeteksi setelah anak memasuki dunia sekolah untuk beberapa waktu.
Disleksia pada dasarnya adalah kesulitan belajar membaca yang tidak ada hubungannya dengan IQ karena biasanya penderita disleksia memiliki IQ yang normal. Disleksia lebih disebabkan karena gangguan dalam asosiasi daya ingat (memori). Akan tetapi, karena membaca merupakan keterampilan dasar bagi kemampuan berbahasa lainnya,maka dapat dimengerti jika ada yang mendefinisikan bahwa disleksia merupakan kesulitan membaca ataupun menulis. Hal ini disebabkan kesulitan membaca juga akan berdampak pada kesulitan menulis.
Islam memandang manusia sebagai makhluk Tuhan. Dalam hal ini peserta didik juga merupakan seorang makhluk Tuhan yang memiliki fitrah sebagai makhluk individu dan makhluk sosial yang sempurna dan memiliki kemampuan yang unggul. Pendidikan tidak terkecuali juga harus diajarkan kepada anak berkebutuhan khusus seperti disleksia.
Pembelajaran huruf hijaiah merupakan bagian dari pendidikan Al-Qur'an sebagai materi dalam ajaran agama Islam.
Dengan demikian pendidikan agama Islam tidak hanya mengandung materi tentang ajaran agama pada peserta didik. Dalam kaitan dengan anak berkebutuhan khusus, secara filosofis memuat nilai-nilai untuk menegaskan kesamaan peserta didik yang normal dan anak berkebutuhan khusus. Kedua jenis peserta didik ini memiliki nilai sama dalam konsep ketuhanan. Mereka adalah makhluk-Nya dan menjadi amanah bagi kedua orang tuanya.
Kemampuan terbatas atau keadaan disabilitas dapat dialami oleh siapa saja. Al-Qur'an sebagai kitab umat islam yang merupakan buku petunjuk kehidupan manusia. Al-Qur'an sudah seharusnya dapat dibaca dan dipahami oleh seluruh umat Islam. Sebuah hadis yang disampaikan oleh Hajjaj bin Minhal dari Syu'bah dari Alqamah bin Martsad dari Sa'ad bin Ubaidah dari Abu Abdirrahman As-Sulami dari Utsman bin Affan Radhiyallahu Anhu, bahwa Rasulullah bersabda, "Sebaik-baik kalian adalah orang yang belajar Al-Qur'an dan mengajarkannya." (HR. Bukhari). Hadis lain dari Aisyah, Rasulullah saw bersabda, "Orang yang ahli dalam Al-Qur'an, akan bersama para malaikat pencatat yang mulia lagi benar. Dan orang-orang yang terbata-bata membaca Al-Qur'an serta bersusah payah (mempelajarinya), maka baginya pahala dua kali." (HR. Bukhari, Muslim, Abu Dawud). Dua hadis tersebut menyebutkan keutamaan bagi orang-orang yang membaca Al-Qur'an dan juga mempelajari Al-Qur'an.
Rasulullah dalam salah satu hadis dari Abu Hurairah, Ia berkata: Rasulullah bersabda : "Setiap anak dilahirkan dalam keadaan suci, ayah dan ibunyalah yang menjadikan Yahudi, Nasrani, atau Majusi." (HR. Bukhari dan Muslim)
Fitrah adalah potensi dasar yang dimiliki oleh setiap manusia. Setiap manusia memiliki beberapa potensi, dan kita Allah berikan kebebasan untuk mengembangkan potensi-potensi yang kita miliki.
Menurut Ibnu Khaldun, manusia lahir membawa kemampuan yang terpendam yang disebut fitrah. Fitrah manusia cenderung kepada Islam dan lingkungan (termasuk orang tua dan masyarakat), di mana ia berada sangat mempengaruhi perkembangan akal dan jiwa peserta didik. Seolah-olah Ibnu Khaldun ingin menegaskan, bahwa di samping faktor bakat dan keturunan, juga ada faktor lain yang mempengaruhi perkembangan akal dan jiwa anak didik, yaitu faktor lingkungan.
Peserta didik dalam pandangan Ibnu Khaldun adalah sosok yang harus diperhatikan. Beliau menempatkan peserta didik sebagai sosok yang harus dipahami dan diikuti perkembangan kejiwaan dan akal pikirannya, karena peserta didik pada awal kehidupannya belum memiliki kematangan pertumbuhan. Karena peserta didik memiliki perbedaan antara individu dengan individu yang lain, baik yang meliputi segi jasmani, intelegensi, sosial, bakat, minat, dan lingkungan yang mempengaruhinya.