Saya merasa, belakangan ini ada lebih sering datang kabar pernikahan kawan yang berhenti di tengah jalan. Tentu tidak ada datanya. Saya tidak menghitungnya. Bukan KUA dan juga bukan BPS, soalnya.
Tetapi ingatan memastikan, angkanya jauh lebih banyak, setidaknya dari 10-20 tahun lalu.
Beberapa kawan membicarakan itu secara terbuka. Mengabari, dengan berbagai basa-basi, atau perbincangan biasa yang kemudian mengarah kesana. Saya senang jika diberi kepercayaan untuk mendengar kisah itu, dari hilir sampai hulu. Artinya dia memasukkan saya sebagai teman baik, yang bisa dipercaya, setidaknya untuk memahami kondisinya. Meski tidak ada alasan yang menurut saya tepat, mengapa kisah itu dipercayakan kepada telinga saya.
Mungkin saat ini komunikasi memang lebih mudah. Kabar datang lebih cepat dari mana saja melalui berbagai media. Mungkin pula, ada perubahan besar tentang bagaimana kita memandang perceraian. Jika dulu dianggap aib, dinilai mendatangkan malu, kini ini adalah peristiwa dalam hidup yang memang mungkin terjadi pada banyak orang.Â
Tidak dilarang, meski Tuhan mengakui secara terbuka bahwa ini adalah hal yang Dia benci. Karena itulah, keputusan-keputusan itu datang lebih mudah, lebih cepat, dan dalam kasus yang saya temui, dalam usia yang lebih muda dibanding mereka yang menjalaninya di masa lalu.
Mungkin pula, ada kemandirian ekonomi di setiap pasangan saat ini. Masing-masing memiliki pekerjaan dan merasa tidak cukup banyak yang perlu dikhawatirkan. Jika perpisahan terjadi, hidup mungkin terasa lebih sepi, tetapi makan dan tempat berteduh tetap tersedia.
Ini pulalah yang membuat bekerja menjadi penting bagi perempuan. Karena di masa lalu, ketiadaan pendapatan kadang menjadi faktor perempuan untuk bertahan di tengah bencana rumah tangga. Kata orang, pernikahan mengandung racun, toxic marriage.
Ibarat sianida dalam secangkir kopi.
Untuk beberapa kasus, perpisahan adalah keputusan yang sepenuhnya bisa diterima. Oleh akal kita. Oleh perasaan. Dan terutama oleh pertimbangan bahwa setiap orang berhak bahagia. Barangkali, kemungkinan dan doa yang bisa diberikan, perpisahan itu justru menghadirkan kebahagiaan untuk masing-masing.
Jodoh memang misteri. Ada yang menemukan hidupnya pada pasangan pertama. Ada yang mesti menunggu hingga dua, bahkan tiga kali. Apakah semua itu ada dalam garis nasib? Hanya Tuhan yang tahu.
Penerimaan kita, yang lebih mudah dan lapang, untuk keputusan-keputusan orang di sekitar kita tentang hidup mereka, nampaknya akan lebih banyak dituntut kelak. Jaman berubah. Sudut pandang bergerak. Kita bisa berpendapat, tetapi hanya mereka yang memahami apa yang benar-benar terjadi.
Kita mungkin kecewa, ketika Sebastian Wilder (Ryan Gosling) dan Mia Dolan (Emma Stone) tak hidup di rumah yang sama. Tetapi La La Land mengajarkan kita, bahwa keindahan itu juga terletak pada perpisahan yang berujung kebahagiaan. Membuka klub jazz dan bermain piano sepenuh hati, serta berakting di bawah sorotan lampu panggung memberi dunia berbeda untuk keduanya.
Ingat, di Seb’s pada bagian akhir La La Land, ketika keduanya saling pandang, mengingat masa lalu, dan kemudian bertukar senyum?
Bukankan kita pun kemudian keluar bioskop, dengan senyum kebahagiaan yang sama seperti mereka?
Siapa bilang, setiap perpisahan mendatangkan air mata....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H