Waktu Aruna (Dian Sastrowardoyo) mulai curiga, bahwa kasus-kasus pasien  di rumah sakit yang dilaporkan akibat paparan flu burung tak sepenuhnya benar, kita bisa baca arah kisah Aruna dan Lidahnya (2018).Â
Film ini bukan hanya soal persahabatan Aruna, Bono (Nicholas Saputra) Nadezhda (Hannah Al Rasyid), dan satu pegawai negeri bernama Farish (Oka Antara). Bukan juga film khusus soal kuliner nusantara, meski isinya makan melulu dan judulnya memakai kata lidah.
Aruna dan Lidahnya, juga mengajak penonton tidak malas untuk kritis, terkait oknum pejabat yang mungkin korupsi di tengah penderitaan rakyat.
Aruna heran, karena data laporan pasien flu burung yang disusun di Jakarta, tak menemukan bukti di Surabaya, Madura hingga Pontianak. Dia dan Farish curiga, laporan itu didesain. Tujuannya untuk memeras duit negara. Sejumlah pejabat, berbagi anggaran untuk membeli alat kesehatan yang tidak diperlukan. Mereka korupsi, dan dikonfirmasi di akhir film, di atas isu mengenai flu burung yang memang sempat menghebohkan.
Aruna benar. Soal chai kue, soto lamongan, hingga bakmi kepiting. Sayang, tak ada adegan soal kopi, meski mereka ada di Ponti.
Aruna, dan Farish, juga benar soal korupsi yang dilakukan pejabat kementerian. Terkait pembelian alat kesehatan yang kemudian disidik KPK.
Situasi sekarang membawa ingatan tentang film ini. Bukan karena Dian Sastro-nya (klasik banget ), tapi soal korupsi di tengah wabah.
Menteri makan bansos, pejabat kongkalikong jualan obat (macam di pasar hewan tiap kliwonan), belum lagi soal alat kesehatan.
Atau harga PCR yang kemahalan. Berlipat dari India. Bikin kita geleng-geleng kepala, padahal biasanya  yang suka geleng sampai pegel itu mereka.
Emang sih katanya mau diturunin. Tapi sudah berapa bulan harga selangit itu dipaksakan. Sudah berapa puluh juta paket PCR dijual mahal. Berapa untung yang dikeruk, sementara dikit-dikit syarat yang ditetapkan harus PCR. Dengan selembar surat keputusan pejabat, duit triliunan mungkin didapat.
Kita juga nyesek, pas inget janji yang korupsi dana pandemi diancam hukuman mati. Ternyata dongeng semata. Kata-katanya pimpinan komisi yang itu, mirip kopi kebanyakan susu kental manis.
Korupsi di tengah penderitaan rakyat yang berlipat itu tingkat kejahatannya luar  biasa. Macam korupsi kala bencana. Wajar kalau Ebiet G Ade sampai prihatin enggak rampung-rampung. Kata dia "dalam kekalutan masih banyak tangan yang tega berbuat nista, ho ho ho (mohon dibaca berikut ho ho ho nya).
(Untuk Kita Renungkan-1982)
Sampai-sampai pikiran jelek muncul. Jangan-jangan di tengah kita ini ada pejabat yang diam-diam bahagia, ketika ada wabah atau bencana. Soalnya jadwal bancakan duit rakyat bisa segera dimulai.
Kalau sudah begini, lama-lama kita bisa remuk hati. Sakit enggak jelas akibat terlalu banyak melihat pejabat berebut duit rakyat, di tengah situasi serba sulit. Sementara meski melaknat tangan yang tega berbuat nista, Ebiet nggak memberi kita jalan keluar melihat masalah raksasa ini. Belum-belum di teras lagu, dia malah ngajak kita musti telanjang dan benar-benar bersih..
Mungkin ada baiknya, Aruna kita panggil  untuk menginvestigasi masalah ini. Dalam kasus flu burung dia terbukti berhasil. Tentu tetap boleh sambil makan-makan sepanjang kota-kota yang disinggahi. Ada terlalu banyak dugaan dan kecurigaan, tangan-tangan berbuat nista di tengah wabah ini.
Sebagai dukungan, saya akan daftar jadi sukarelawan, meski sebagai sopir, yang membawanya keliling dari kota ke kota. Dengan begitu, ada kesempatan menikmati lorjuk di Pamekasan atau pengkang Pontianak, bareng Bono.
Maaf, soal makanan, ngobrol dengan Bono yang chef tentu lebih renyah, dari pada sama Aruna. Apalagi Aruna sendiri bilang, enggak perlu menunggu orang yang tepat, untuk menikmati masakan lezat.
Dia toh bukan orang yang tepat buat saya....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H