Mohon tunggu...
Nurhadi SA
Nurhadi SA Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pemerhati Pendidikan, Terapis, Muballigh

- Pemerhati dunia pendidikan - Tim Muballigh pada Sekolah Haji Umroh "Baitullah" Kab. Semarang - Terapis pada Bengkel Jiwa & Raga "S3" Pekalongan (dengan metode SEFT dan PAZ Al-Kasaw)

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Tidak Harus Lebih Pintar dari Mbah Google

21 September 2020   14:17 Diperbarui: 21 September 2020   14:33 166
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mengantar anak ke pondok pesantren, merupakan salah satu kewajiban orang tua dalam pendidikan anak| Dokpri

Mendampingi anak belajar di rumah, para orang tua dituntut untuk serba bisa. Setidaknya, harus menguasai berbagai mata pelajaran yang sedang di-PJJ-kan. Sehingga seolah olah mereka harus lebih pintar dari mbah Google. 

Hal ini yang akhirnya membuat sebagian besar orang tua merasa depresi. Apalagi untuk orang tua yang tidak berprofesi sebagai guru. Karena pada kenyataannya, banyak sekali materi pelajaran anaknya yang terlihat baru di matanya. Padahal saat mereka bersekolah dulu, mereka pernah mendapatkan itu semua.

Orang tua yang berlatar belakang dunia pendidikan saja, tidak semuanya sanggup mendampingi ananda yang sedang daring. Apalagi orang tua yang pekerja harian. Mereka akan lebih memberatkan pilihan bekerja daripada mendampingi belajar daring. Sementara di malam hari, tenaga sudah terkuras habis, sehingga memaksa mereka untuk beristirahat.

Saya sangat salut dengan orang tua yang bisa berbagi waktu. Mereka sangat pandai menyiasati waktu, antara kewajiban mencari nafkahnya dengan kewajiban mendampingi anak belajar.

Ini pasti kelompok orang tua yang energi cintanya sangat besar. Betapa tidak! Sepulang dari bekerja mencari nafkah masih menyempatkan diri membersamai ananda. Padahal fisiknya sangat butuh istirahat. Luar biasa energi cinta mereka untuk keluarganya.

Hambatan terbesar bagi orang tua berpendidikan rendah, sangat sulit mendampingi belajarnya ananda. Mereka tidak nyambung dengan pelajaran yang dihadapi anaknya. Sementara tugas-tugas yang harus diselesaikan anaknya sangatlah banyak. Diperlukan trik tersendiri untuk menyiasati kesenjangan ini.

Di sisi lain, orang tua yang berpendidikan menengah ke atas saja masih mengeluhkan pembelajaran daring ini. Mereka merasa semua ilmu "masa lalu"nya seolah lenyap begitu saja. Boro-boro ilmu jaman SD-SMP, ilmu yang diperoleh dari bangku kuliah saja, bisa jadi sudah terlupakan. Saking tidak pernah dipakainya. Berapa banyak para sarjana yang mengisi lowongan pekerjaan di luar basik ilmunya?

Ada satu trik yang bisa kita pakai untuk kondisi ini. Untuk semua orang tua. Baik itu para orang tua yang berpendidikan lumayan, apalagi untuk yang berpendidikan rendah. Yakni, kita kembali pada nilai fitrah kita sebagai orang tua. Abaikan semua tuntutan untuk tahu semua hal. Gunakan nilai diri Anda sebagai orang tua. Kehadiran Anda lebih penting daripada kepintaran Anda.

Jadi menurut saya, orang tua tidak harus lebih pintar dari Google. Bisa kok, orang tua tampil apa adanya. Lebih "bodoh" dari Google. Menurut saya, hal ini justru bisa menjadi "senjata" baru dalam hubungan ortu-anak. Hadirkan sosok Anda sepenuhnya sebagai Ayah atau Ibu, bukan sebagai guru.

Pengalaman pribadi dalam mendampingi ananda belajar, saya berterus terang kepada anak saya.

"Ayah sudah lupa materi ini. Mari kita cari tahu di internet bersama!" ajak saya kepada ananda.

Bagaimana mungkin saya masih ingat pelajaran ini? Sementara dalam pekerjaan sehari-hari, saya sama sekali tidak menggunakannya. Untuk itulah keberadaan internet saya manfaatkan untuk lebih dekat dengan anak saya. Biarkan kita tampil "bodoh" apa adanya. Dengan begitu, kita punya alasan untuk berdekat-dekat dengan anak, mencari tahunya lewat internet.

Jadi, apa yang tidak ada pada Google, ada pada kita. Kehangatan! Hubungan dengan anak yang tadinya hanya rutinitas sambil lalu, kini bisa direcovery kembali. Aktivitas menjelajah internet bersama ananda, untuk mencari tahu cara penyelesaian tugas daringnya, adalah kemesraan tersendiri.

Tentunya kita semua tidak menghendaki angka depresi anak saat daring menaik bukan? Seperti terlihat pada survei UNICEF dengan responden sekitar 1000-1200 orang, ternyata 200-300 di antaranya mengalami kekerasan ketika menjalani pembelajaran secara daring. Na'udzubillahi min dzaalik.

Maka, mari kita menjadi orang tua yang senantiasa memberikan kenyamanan pada anak anak kita. Biarkan kita terlihat bodoh di depan Google, yang terpenting tidak terlihat acuh terhadap anak kita. Keberadaan teknologi di gajet kita, harus kita berdayakan semaksimal mungkin untuk menjalin kehangatan dalam proses membersamai belajar secara daring ananda.

Jujur saja, sebelum pandemi ini melanda, saya kurang dekat dengan anak-anak.

Terima kasih Google. Terima kasih corona, eh!

Salam daring,

Nurhadi.

Referensi: 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun