Lomba pun dimulai, anak-anak sudah ada yang mulai menempelkan tangram masing-masing ke atas kertas putih yang telah disediakan. Mereka lebih banyak fokus pada media yang ada di depan mereka. Dari jauh saya sempatkan mengintip Daffa yang juga sudah mulai mengeluarkan tangram dan menempelkannya ke atas kertas. Sedari tadi pula saya menyaksikan beberapa orang tua, khususnya kaum  ibu sedikit demi sedikit bergeser mendekati panggung dan tali pembatas. Dan apa yang mereka lakukan?
 Tak sedikit dari mereka memberikan isyarat kepada anak masing-masing untuk membetulkan bentuk, memberikan arahan ataupun kata-kata petunjuk kepada anak-anak yang berlomba. Karena keadaan yang demikian, panitia terdengar beberapa kali mengeluarkan peringatan agar mereka diam, dan membiarkan anak-anak mengeluarkan ide murni mereka. Bahkan sampai ancaman diskualifikasi pun sempat terlontar dari seorang panitia, yang mungkin kesal dengan perilaku orangtua yang tak sportif tersebut.
Saya yang menyaksikan keadaan di atas sempat merasa geli dan menggelengkan kepala, betapa usia mereka tidak berbanding lurus dengan kedewasaan memahami peringatan panitia. Bahkan menurut saya, perilaku semacam inilah yang membuat anak-anak lain menjadi terganggu konsentrasinya menjalani lomba.Â
Saya pun menyaksikan tidak ada anak yang didiskualifikasi, jika merujuk pada ancaman panitia sebelum lomba dimulai. "Yah, beginilah mungkin negeri kita, lebih banyak mengancam atau gertak sambal belaka, tetapi implementasinya tidak sepenuh hati...kasihan anak-anak yang sedari tadi fokus tanpa mengharapkan bantuan dari orang tua", gumamku dalam hati.
Akhirnya perlombaan tangram itu selesai, kurang lebih dua jam. Daffa selesai dan telah mengumpulkan karyanya kepada panitia. Dari jauh saya sempat menjepretnya, dan yang ia kerjakan adalah sebuah "ketertidaksusunan", yang saya juga bingung untuk menjelaskannya. Selesai mengumpulkan karyanya, ia berlari ke arahku sambil membawa susu dan makanan ringan yang dibagikan oleh panitia.
 Setelah  sedikit memujinya karena ia tenang mengikuti lomba, kubiarkan ia duduk sejenak di bawah pohon rindang yang masih satu kawasan dengan panggung lomba sambil menyeruput susu coklatnya. Pelan-pelan kutanyakan padanya, tentang "keterhamburan" apa yang dibuatnya di atas secarik kertas putih itu.
Sedotan susu dilepaskan dari kedua bibirnya, dengan percaya diri Daffa menjelaskan padaku dalam bahasa inggris "I made a ruin castle of angry bird, because he left it for few days Ummi..." matanya yang masih menyala-nyala menandakan kepercayaan dirinya, mungkin karena konsep yang ada di kepalanya telah berhasil ia konkretkan. Hatiku berprasangka baik kepada anakku.Â
Saya mencoba mengangguk untuk memperlihatkan persetujuan kepadanya, meskipun pikiranku masih bingung dan merasa lucu. Bingung karena saya tidak pernah membiarkan ia menonton ataupun bermain game angry bird, yang saya juga sebenarnya asing dengan film dan game tersebut. Lucu karena saya tidak menyangka, Daffa akan sebebas itu membuat bentuk dari tangram-tangram yang ada di tangannya.
Pertanyaan tentang angry bird dalam diriku masih kusimpan, sambil menyapa orang tua lain yang saya kenal, saya bercerita kepada guru kelasnya tentang apa yang dilakukan oleh Daffa hari ini.Â
Sang guru pun menjelaskan, bahwa ketika berlatih di sekolah beberapa hari sebelum lomba, ia membuat sebuah kereta api dan bunga matahari, tapi mungkin saja hari ini ia tidak lagi terinspirasi oleh prakarya tangramnya beberapa hari lalu di sekolah. Kami pun lantas tertawa dan kembali saling bercerita sambil menunggu pelombaan lain yang sedang dan akan dilaksanakan.
Singkat cerita, beberapa hari berlalu. Cerita tentang perlombaan tangram itu pun sudah diketahui oleh suamiku. Ia pun heran karena tidak pernah memberikan tontonan itu kepada Daffa.Â