Yusuf juga kebingungan karena uang dan makanan telah menipis, sementara mereka harus tetap bertahan. Kiriman dari orang tua Yusuf pun tak ada lagi, adu mulut dan pertengkaran tak terhindarkan. Bahkan Yusuf sempat menawarkan perpisahan kepada Zulaikha. Zulaikha bukanlah perempuan yang cepat patah arang, dengan lantang ia berkata; "Saya ini keturunan Andi, sedari kecil saya diajarkan bagaimana mempertahankan harga diri" Mempertahankan  biduk rumah tangga adalah sebuah harga diri, setidaknya itulah konsistensi yang ditunjukkan Zulaikha.Â
Ia memang tampil sebagai seorang perempuan Bugis Makassar yang tangguh. Ketika rumah tangga membutuhkan dirinya untuk bertahan, ia rela mengorbankan semua hartanya, kecuali seuntai gelang yang membuatnya terus mengingat sang Ibu. Dan pernikahan adalah persoalan harga diri, sebuah pertanggungjawaban moral yang patut diacungi jempol telah ditunjukkan Zulaikha.
Klimaks yang lain terjadi dibalik pertengkaran Yusuf dan Zulaikha. Puang Rabiah sebenarnya tak sanggup lagi menahan rindu pada putri tercintanya. Zulaikha yang pernah menempati rahimnya, telah bertahun-tahun pergi dengan lelaki yang tak direstuinya. Foto Zulaikha terus didekapnya. Linangan airmata dari malam ke malam berikutnya adalah penanda betapa ia ingin sekali membelai putri kecilnya, membalutkan selendang sutra di dadanya dan memeluknya erat serta menciumi kening dan rambutnya seraya membacakan doa agar hidupnya senantiasa bahagia.Â
Tapi itu hanyalah ilusi. Ia tersadar dan terhentak sebuah kenyataan, sang putri itu telah berani melanggar titahnya...dan dengan tegas ia meminta saudara lelakinya, Puang Ridwan, untuk menyiapkan upacara Mabbaratta. Sebuah upacara kematian bagi Zulaikha. Ia tak lagi menganggap Zulaikha hidup. Tontonan yang mengiris hati sedang terjadi... Â Â Â Â
Scene Mabbaratta sebetulnya adalah titik fokus yang bagus untuk diekplorasi. Betapa sebuah nilai adat atau norma yang hidup selama bertahun-tahun tetap menjadi referensi hidup. Tak peduli ia darah daging sendiri, nilai itu tetap berlaku bagi siapa saja yang dianggap membuat malu atau mappakasiri'-siri'.Â
Hingga pada satu waktu Yusuf mendatangi kembali Puang Rabiah dengan maksud meminta pertolongan agar mendonorkan darahnya bagi cucunya sendiri yang sedang sakit parah. Keinginannya tak langsung dipenuhi, ia pun harus menghadapi ancaman Puang Ridwan yang menodongkan badik ke arah perutnya.
Film ini sebenarnya banyak memuat pelajaran terutama tentang budaya Bugis Makassar yang patut dilestarikan. Di tengah derasnya nilai-nilai global, nilai-nilai budaya lokal tetap menempati ruang dalam kesadaran masyarakat pendukungnya. Sebelum mengakhiri dengan indah kisah di film ini, kembali penonton disuguhi adegan mengharu biru.Â
Zulaikha kembali ke rumahnya dan meminta maaf kepada Ibunda dengan cara mencium kaki sang Ibunda setelah dibasuhnya dengan air bersih. Alunan lagu Inninnawa Sabbarae --sebuah lagu ninabobo di kalangan masyarakat Bugis khususnya---menyihir siapapun yang menyaksikannya menitikkan air mata. Bagaimana pun keterpisahan yang pernah terjadi, Ibu tetap menjadi sosok yang menghangatkan.Â
Jika ditelaah lebih jauh, Ininnawa adalah lubuk hati yang paling terdalam, yang mungkin disitulah kebenaran dan keabadian bersemayam. Kebenaran ikatan antara Puang Rabiah sebagai Ibu dan Zulaikha sebagai anak tetap abadi dalam senandung doa-doa lagu Ininnawa Sabbarae.
Saya bukanlah kritikus film atau sastrawan dengan karya-karya mendunia. Tetapi jika saya diberi ruang untuk mengajukan kritik maka saya hanya ingin mengungkapkan bahwa, sebenarnya banyak titik fokus yang kurang tergali dalam kisah Yusuf dan Zulaikha dalam film Silariang. Makanya saya memberikan judul Will You Die for Your Love yang mungkin akan memberikan efek penasaran bagi calon penonton.Â
Apa sebenarnya konsekuensi dari Silariang, atau mungkinkah tragis di akhirnya...Tetapi karena sudah rilis, biarlah menjadi catatan kecil bagi insan perfilman yang tetap ingin eksis menggali budaya lokal untuk dijadikan karya seni semisal film ataupun yang lainnya. Salut untuk Inipasti Comunica dan Indonesia Sinema Persada tentunya. Teruslah berkarya! Â (Penulis adalah penikmat karya-karya sastra, 3 Maret 2018)Â Â Â Â