Mohon tunggu...
Nur Fatma Juniarti
Nur Fatma Juniarti Mohon Tunggu... ibu rumah tangga -

Ibu dua anak yang pernah berkecimpung di dunia pendidikan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Fenomena 4x6

23 September 2014   23:58 Diperbarui: 17 Juni 2015   23:47 21
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Fenomenal! Itulah kata yang tepat untuk menggambarkan masalah 4x6. Bagaimana tidak fenomenal, masalah sederhana ini sampai melibatkan berbagai pakar untuk menyatakan argumennya. Cukup menarik memang, melihat para pakar yang sehari-harinya bergelut dengan Matematika kelas tinggi justru membahas masalah 4x6  yang sangat sederhana. Jangan-jangan hanya terjadi di Indonesia, seorang pakar berbicara masalah 4x6?

Seorang profesor astrofisika dariLembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional(Lapan), Thomas Djamaluddin, mengatakan, bahwa 4x6 berbeda dengan 6x4 . Namun pendapat ini berseberangan dengan kandidat doktor fisika yang juga seorang kompasianer,Hendradi Hardhienata,  yang mengatakan dalam Ilmu Matematika pernyataan 4x6 dan 6x4 adalah sama. Pendapat profesor Matematika dari Institut Teknologi Bandung, Iwan Pranoto, berbeda lagi. Ia mengatakan bahwa4x6 ataupun 6x4 sebenarnya sama. Namun, bisa saja salah bila dilihat dalam konteks tertentu.

Jika saya ditanya tentang masalah 4x6, maka saya akan menjawab dari dua sisi yang berbeda, yaitu sisi keilmuan dan sisi pengalaman. Sebagai seorang yang berlatar belakang dibidang fisika, tentu saya akan sependapat dengan kompasianer Hendradi Hardhienata.

Dalam teori matematika, Hukum komutatif berlaku pada operasi hitung penjumlahan dan operasi hitung perkalian. Hukum ini tidak berlaku pada perkalian matriks. Secara matematis, 4+4+4+4+4+4=6x4 namun bisa juga 4+4+4+4+4+4=4x6. Hal ini tergantung dari kesepakatan.

Bagi anda yang awam, tidak perlu bingung mengenai kesepakatan ini.  Begitu banyak hal dibidang matematika dan fisika yang merupakan hasil kesepakatan, dan jika dilihat secara terbalik hal ini tidak mempengaruhi validitas aturan operasi suatu bilangan.

Namun jika saya ditanya sebagai seorang yang pernah mengajar, maka saya akan sependapat dengan Thomas Djamaluddin. Saya akan mengatakan bahwa 4+4+4+4+4+4=6x4 dan tidak bisa di balik menjadi 4x6.

Memang kesannya saya menentang keilmuan saya sendiri. Saya yang memiliki latar belakang di bidang fisika, harus mengatakan bahwa 4x6 tidak sama dengan 6x4 kepada anak SD.

Mengajar anak SD jauh berbeda dengan memecahkan fisika. Dalam ilmu fisika, metode matematika seringkali digunakan. Berbagai macam teori matematika harus dipahami dengan baik agar bisa diterapkan dalam ilmu fisika. Sedangkan ketika berhadapan dengan anak SD, kondisi dilapangan sungguh berbeda jauh.

Walaupun saya tidak pernah mengajar SD secara formal, saya pernah mengajarkan 2 orang anak SD secara privat dan mengajarkan anak saya sendiri yang masih sekolah SD. Saya masih teringat ketika anak saya kelas 1 SD, saya mengajarkan penjumlahan sederhana. Saya mengajarkan 2+3 dengan cara 'wajar', yaitu menjumlahkan dari kiri ke kanan. Setelah saya melihat dia menguasai cara 'wajar' tersebut, saya kenalkan kepada anak saya bahwa 2+3 bisa  juga dihitung dengan 3+2. Hal ini saya ajarkan karena pada matematika berlaku hukum komutatif yaitu 2+3 = 3+2. Saya ajarkan kepada dia menjumlahkan 2+3 dengan cara menjumlahkan dari kanan ke kiri. Hasilnya? Anak menjadi bingung. Bukan semakin paham matematika, tapi menjadi bingung. Akhirnya saya kembali ke cara wajar, yaitu menjumlahkan dari kiri ke kanan.

Semakin anak saya berlatih, semakin mahir pula dalam penjumlahan. Setelah benar-benar mahir, dan ia telah menemukan 'roh' untuk mengerjakan penjumlahan, saya kenalkan kembali tentang sifat komutatif. Waktu itu penjumlahannya sudah semakin besar seperti 3 + 15. Sungguh merepotkan kalau menghitung dengan cara yang 'wajar'. Akhirnya saya mengatakan kepada anak saya bahwa 3+15 bisa dihitung sebagai 15+3. Awalnya dia tidak terima. Tapi saya gigih agar dia mau mencoba dengan cara 'aneh' yaitu menjumlah dari kanan ke kiri. Saya juga meminta dia membandingkan dengan cara yang biasa dia lakukan. Akhirnya dia berkesimpulan bahwa dalam penjumlahan berlaku 3+15=15+3. Untuk beberapa penjumlahan, dia lebih suka menggunakan cara ‘wajar’ namun dilain waktu dia justru akan menggunakan cara ‘aneh’. Menurut kacamata anak saya sebelumnya, 3+15 tidak sama dengan 15+3. Seiring berjalannya waktu, maka ia mengerti bahwa ternyata 3+15=15+3.

Mengajar anak SD memang unik. Mereka belajar dari nol. Mereka belajar dalam keadaan tidak paham sama sekali. Selain itu pemikiran mereka masih sangat kongkret terutama bagi anak di bawah 10 tahun. Bagi mereka, 3+15 tidak sama dengan 15+3. Karena memang berbeda, yang satu, angka 3 ada di sebelah kiri, yang satu lagi, angka 3 ada di sebelah kanan, di mana samanya? Selama mereka belum menguasai suatu hal, pemahaman mereka tidak boleh dibongkar. Membongkar pemahaman mereka, sama saja membuat mereka bingung.

Banyak orang yang mengatakan bahwa cara saya akan menyebabkan anak menjadi tidak kreatif. Hal ini saya anggap sebagai suatu hipotesa dan harus diteliti lebih jauh. Namun, saya meyakini bahwa mengajar SD sama saja seperti mengajar anak bersepeda roda dua. Pertama kali, ajarkan anak untuk seimbang dalam bersepeda. Jangan ajarkan anak berbagai macam manuver ketika mereka belum lancar bersepeda. Manuver bersepeda baru boleh diajarkan jika anak sudah memiliki keseimbangan dalam bersepeda.

Saya yakin, untuk kasus PR Habibie, guru menginginkan agar ia belajar satu hal sampai Habibi benar-benar menguasai hal tersebut. Walaupun pada matematika berlaku hukum komutatif, namun belum waktunya untuk mengajarkan hal itu. Melalui PR Habibi, terlihat bahwa ia masih mempelajari mengenai pendahuluan konsep perkalian. Guru menanamkan bahwa perkalian itu merupakan penjumlahan berulang. Dalam hal ini saya yakin Habibi belum memiliki konsep perkalian. Kalaupun ada, konsep tersebut masih ‘goyang’. Oleh karena itu, saat ini janganlah memperkenalkan sifat komutatif perkalian kepada anak didik.

Selain itu, berbagai buku metematika SD menjelaskan bahwa 4+4+4+4+4+4=6x4. Jika guru Habibi mengajarkan 4+4+4+4+4+4=4x6, apa yang terjadi pada murid-murid jika mereka melihat dari buku referensi? Mereka akan dibuat bingung, karena antara buku referensi dan ajaran guru berbeda.

Supaya kasus Habibi tidak terulang, pakar pendidikan matematika tingkat sekolah SD perlu turun tangan mengatasi hal ini. Mereka lebih mengetahui masalah ini. Mereka tentunya memiliki cara agar anak yang masih ‘goyang’ konsep perkaliannya tetap mengetahui sifat komutatif perkalian tanpa membuat anak menjadi bingung.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun