Era Orde Baru dan Reformasi di Indonesia merupakan dua periode yang berbeda, tidak hanya dalam hal kepemimpinan politik, tetapi juga dalam kebijakan ekonomi dan manajemen. Salah satu isu penting yang mencolok di kedua era ini adalah fenomena twin deficit, yaitu defisit anggaran dan defisit neraca perdagangan. Meskipun kedua periode ini sama-sama menghadapi tantangan defisit, pendekatan dan dampaknya terhadap perekonomian Indonesia menunjukkan perbedaan yang signifikan.
Perbedaan dalam manajemen twin deficit ini tidak hanya mempengaruhi aspek ekonomi, tetapi juga berdampak pada kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan. Di era Orde Baru, peningkatan angka kemiskinan dan ketidakadilan sosial sering kali terjadi seiring dengan kebijakan yang tidak inklusif. Sebaliknya, era Reformasi berusaha untuk menjadikan pertumbuhan ekonomi lebih inklusif dengan meningkatkan akses masyarakat terhadap sumber daya dan layanan, serta mendorong pembangunan ekonomi yang merata.
Twin Defisit di Era Orde Baru
Era Orde Baru dimulai pada tahun 1966 di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto, yang menggantikan Orde Lama. Dengan fokus pada stabilitas politik dan pertumbuhan ekonomi berkelanjutan. Untuk mencapai tujuan ini, pemerintah menerapkan berbagai kebijakan yang bertujuan untuk mendorong investasi, baik dari dalam maupun luar negeri. Melalui pendekatan yang otoriter namun pragmatis, Soeharto berhasil menciptakan iklim investasi yang relatif kondusif, yang menarik minat banyak investor asing. Â Selama dekade pertama Orde Baru, Indonesia menikmati surplus perdagangan yang signifikan, terutama berkat lonjakan harga minyak global pada tahun 1970-an. Namun, pertumbuhan yang pesat ini tidak didukung oleh pengelolaan yang bijak dan berkelanjutan.
Memasuki akhir 1980-an, pemerintah mulai mengeluarkan lebih banyak anggaran untuk proyek infrastruktur dan pembangunan sosial tanpa memperhitungkan dampak jangka panjang. Defisit anggaran melonjak, ditambah dengan ketergantungan pada impor untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Pada titik ini, neraca perdagangan mulai menunjukkan tanda-tanda defisit, terutama akibat kebijakan liberalisasi perdagangan yang tidak diimbangi dengan penguatan sektor industri domestik. Pada tahun 1997, Indonesia menghadapi situasi yang sangat sulit, di mana twin deficit mencapai puncaknya, memicu krisis ekonomi yang berdampak luas.
Dalam menghadapi krisis, pemerintah Orde Baru mengandalkan pinjaman luar negeri sebagai solusi cepat. Namun, strategi ini tidak disertai dengan reformasi struktural yang dibutuhkan. Utang luar negeri yang terus menumpuk semakin menggerogoti kepercayaan investor, yang akhirnya menyebabkan krisis moneter pada tahun 1998. Devaluasi rupiah yang dramatis dan inflasi yang melonjak membawa dampak buruk, seperti peningkatan angka kemiskinan dan ketidakstabilan sosial.
Reformasi dan Perubahan Paradigma
Setelah jatuhnya rezim Orde Baru, Indonesia memasuki era Reformasi pada tahun 1998. Momen ini tidak hanya menandai perubahan kepemimpinan, tetapi juga pengalihan paradigma dalam manajemen ekonomi. Tuntutan untuk melakukan reformasi di berbagai sektor, termasuk ekonomi, menjadi semakin mendesak. Pemerintah Reformasi mengambil langkah-langkah proaktif untuk menangani twin deficit dengan pendekatan yang lebih hati-hati. Salah satu langkah utama adalah meningkatkan disiplin fiskal, dengan menetapkan batasan yang lebih ketat pada pengeluaran pemerintah. Program anggaran disusun dengan lebih realistis, mengutamakan transparansi dan akuntabilitas.
Salah satu tonggak penting dalam era Reformasi adalah upaya meningkatkan literasi keuangan di kalangan masyarakat. Pemerintah, bersama dengan organisasi non-pemerintah, meluncurkan berbagai program pendidikan yang bertujuan untuk meningkatkan pemahaman masyarakat tentang manajemen keuangan pribadi dan produk keuangan. Transparansi dalam pengelolaan anggaran juga menjadi fokus utama, di mana publik diberikan akses untuk memantau penggunaan anggaran dan kinerja pemerintah.
Untuk memperbaiki neraca perdagangan, pemerintah mengembangkan kebijakan yang mendorong diversifikasi produk ekspor dan meningkatkan daya saing sektor industri dalam negeri. Dukungan bagi usaha kecil dan menengah (UKM) menjadi salah satu prioritas, karena sektor ini dianggap sebagai pilar penting dalam pertumbuhan ekonomi. Insentif bagi investor asing juga diberikan, dengan tujuan menarik investasi ke sektor-sektor strategis, seperti teknologi dan manufaktur.
Perbandingan Dampak Ekonomi
- Era Orde Baru