Judulnya sih ngeri, tapi sebenarnya di sini penulis ingin menulis sebuah opini mengenai peristiwa yang terjadi akhir-akhir ini (walaupun tidak terbaru juga).
Tulisan ini pernah disampaikan pada Diskusi Rumah Tjokro tanggal 30 Juni 2020, Rumah Tjokro sendiri merupakan suatu wadah diskusi yang mayoritas berisi mahasiswa FKIP UHAMKA. Diskusinya santai, tapi temanya berat-berat, salah satunya yang saya terima ketika berbicara tentang 'Penguasa Stand Up: Lelucon Serius Komedian'.
Pengantar
Bulan Juni 2020 bukanlah bulan 'romantis' seperti yang digambarkan dalam buku Sapardi Djoko Damono (2013). Pada bulan ini banyak kasus yang terjadi di Indonesia yang menjadi keprihatinan bersama sebagai sebuah bangsa. Penulis mencatat setidaknya ada dua kasus yang sebetulnya 'lucu' dari segi humor, namun menjadi serius ketika ada yang 'baper' dengan guyonan yang disampaikan oleh dua orang tersebut.
Kasus pertama terjadi pada komedian Bintang Emon yang mengunggah video guyonannya pada 12 Juni 2020 di akun media sosialnya, saat itu ia mengkritisi dengan gaya komedi satire terkait dengan sidang tuntutan kasus penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan yang notabene merupakan penyidik KPK. Bahkan, di akhir video tersebut Bintang Emon sempat mengucap 'Lho kok ada tukang bakso?' yang merupakan guyonan untuk pihak berwajib yang 'menjaring' pihak 'oposisi'. Meskipun tidak 'dijaring' oleh pihak berwajib, namun Bintang Emon harus menelan pil pahit dituding menggunakan narkoba oleh beberapa pihak (Bernie, 2020; Indonesia, 2020).
Kasus kedua menimpa Ismail Ahmad yang merupakan warga Kepulauan Sula, Maluku Utara yang mengunggah guyonannya Gus Dur mengenai 'Tiga Polisi Jujur' di akun media sosialnya. Waktu kasus ini berbarengan dengan kasus Bintang Emon, yakni 12 Juni 2020. Kasus ini menjadi menarik, karena Ismail Ahmad hanya mengutip guyonan Gus Dur, bukan memproduksi gagasannya mengenai guyonan tersebut. Namun, berbeda dengan Bintang Emon, ia harus berurusan dengan pihak berwajib. Jalan keluar dari kasus ini adalah Ismail Ahmad menyampaikan permohonan maaf ke media massa (D. Prabowo, 2020).
Kedua kasus tersebut memperlihatkan bahwa komedi yang seharusnya membuat pembaca, pendengar, dan penontonnya tertawa gembira, malah membuat takut masyarakat awam yang ingin menghibur. Bahkan, menurut Ellen Kusuma (dalam Indonesia, 2020) kasus Bintang Emon menunjukkan bahwa "situasi demokrasi dan kebebasan berekspresi di Indonesia yang sangat darurat".
Senada dengan Kusuma, Alissa Wahid (dalam H. Prabowo, 2020) mengatakan bahwa kasus Ismail Ahmad sebagai "intimidasi institusi negara terhadap warga". Apakah Indonesia darurat komedi? Apakah memang sebenarnya komedi bisa dijadikan sebagai media kritik yang membuat beberapa orang 'gerah' dengan komedi tersebut? Penulis mencoba membedah hal tersebut.
Komedi merupakan salah satu bentuk seni yang digunakan sebagai bentuk hiburan. Di Indonesia sendiri, komedi menjadi bagian dari kesenian rakyat dengan beraneka ragam jenisnya, yakni ludruk, ketoprak, lenong, dan wayang (Nastiti, 2014). Karena bersifat menghibur, komedi dapat juga menyelipkan pesan-pesan sosial atau moral dalam setiap pertunjukannya. Maka, komedi dapat juga dijadikan sebagai media kritik, baik itu sosial maupun politik dengan gaya khasnya yang menyindir sesuatu, tanpa harus membuat yang dikritik 'baper'. Karena, berbeda dengan demonstrasi yang bersifat mengundang massa banyak dan penyampaiannya yang lugas, komedi tidak perlu mengundang massa yang banyak dan dalam penyampaiannya bersifat 'santai'. Namun, dalam sejarahnya, komedi sebagai media kritik ini berujung pada 'baper'nya pihak-pihak yang tidak suka terhadap kritikan tersebut.