Mohon tunggu...
Nur Faizatus Sholihah
Nur Faizatus Sholihah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

21st century learner

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Melodi Pendidikan Ki Hajar Dewantara dalam Merespon Tantangan Kekerasan di Satuan Lembaga Pendidikan Nasional

14 Oktober 2023   15:51 Diperbarui: 14 Oktober 2023   17:11 176
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Oleh: Nur Faizatus Sholihah

Mahasiswa PPG Prajabatan Pendidikan Matematika

Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya

PENDAHULUAN

Dalil peradaban mengungkapkan bahwa tonggak kemajuan suatu negara dapat dilihat dari kualitas pendidikan yang dimilikinya. Fakta ini memberikan makna bahwa pendidikan merupakan sistem yang berperan penting dalam membantu segala proses perkembangan suatu negara guna mencapai tatanan kehidupan yang dicita-citakan. Pendidikan menjadi salah satu kunci utama dalam mewujudkan cita-cita bangsa, melahirkan kodrat pada diri manusia, serta menumbuhkan benih generasi penerus yang berintelektual dan berkebudayaan luhur. Namun, pada praktiknya, pendidikan saat ini justru menciptakan fenomena yang berbanding terbalik dengan pemaknaannya. Fenomena tersebut dapat dilihat dari banyaknya kasus kriminal yang terjadi di dunia pendidikan belakangan ini.

Pada awal tahun 2023, pendidikan nasional digemparkan oleh beberapa kasus kekerasan yang terjadi di sekolah, baik secara fisik, verbal, hingga merambah pada ranah pelecehan seksual. Salah satu kasus yang marak terjadi akhir-akhir ini adalah kasus kekerasan fisik seperti yang dilakukan oleh oknum kepala sekolah di salah satu sekolah swasta di Kabupaten Gresik. Aksi ini dimulai ketika 15 siswi MTs Nurul Islam membeli jajanan di luar kantin sekolah saat jam istirahat pertama. Hal ini membuat pelaku tak terkendali dan melangsungkan aksi pemukulan di bagian kepala para korban. Tidak hanya itu, pelaku juga memberikan hukuman tambahan kepada korban untuk berdiri dengan satu kaki selama beberapa waktu, sehingga 4 dari 15 siswi diantaranya tersebut pingsan. Motif ini terjadi karena pelaku merasa bahwa aturan yang telah ditetapkan oleh sekolah dapat dengan mudah dilanggar oleh para korban.

Fenomena di atas mencerminkan bahwa tantangan yang dihadapi dalam dunia pendidikan dari zaman ke zaman selalu berada pada tingkatan kronis. Pendidikan yang sejatinya menuntun kodrat manusia dalam mencapai keleluasaan hidup justru menjadi sarana kekerasan yang dapat melunturkan nilai-nilai moril manusia. Realita ini memberikan warna sekaligus dorongan kuat kepada seluruh pelaku pendidikan untuk lebih memaknai hakikat dan nilai-nilai pendidikan yang sudah ada. Upaya tersebut dapat dilakukan dengan menerapkan kembali dasar-dasar pemikiran kritis Ki Hajar Dewantara terhadap paradigma pendidikan yang menuntun dan memerdekakan.

DASAR-DASAR PEMIKIRAN KI HAJAR DEWANTARA

Lensa pendidikan sejak zaman dahulu selalu mencerminkan bahwa manusia yang hidup di muka bumi ini memiliki kemerdekaan dan kebebasan yang sama dalam menjalankan setiap bab kehidupannya. Namun di dalam realitanya, pendidikan sebelum zaman kemerdekaan hanyalah sebuah ilusi bagi rakyat pribumi. Pendidikan pada saat itu semata-mata hanya dianggap sebagai upaya untuk memenuhi kepentingan penjajah, bukan untuk mewujudkan kodrat manusia dalam mencapai kemerdekaan hidup secara adil dan menyeluruh. Tidak hanya itu, adanya diskriminasi terhadap golongan tertentu juga menjadikan pendidikan pada zaman dahulu sebagai pendidikan yang tidak fleksibel dan penuh dengan keterpaksaan.

Fakta ini tentu mendorong para tokoh penting negara seperti Ki Hajar Dewantara untuk mengusung gagasan-gagasan kritisnya terkait pemaknaan pendidikan yang sebenarnya. Ki Hajar Dewantara sebagai bapak pendidikan mengemukakan bahwa pendidikan sejatinya adalah sarana untuk menuntun segala kodrat yang melekat dalam diri manusia guna mencapai kebahagiaan dan keselamatan hidup yang setinggi-tingginya. Hal ini mengisyaratkan bahwa pendidikan sejak zaman dahulu adalah sesuatu yang relevan dalam membangun kemerdekaan manusia agar dapat menjalani kehidupan tanpa paksaan dan mencapai kebahagiaan semaksimal mungkin.

NILAI LUHUR BUDAYA DALAM PENDIDIKAN

Lebih jauh, Ki Hajar Dewantara mengemukakan bahwa pendidikan tidak cukup jika hanya dipandang sebagai pemenuhan intelektual belaka dengan mengabaikan pendidikan kebudayaannya. Pendidikan merupakan sistem yang wajib diintegrasikan dengan kearifan lokal suatu bangsa agar menghasilkan manusia yang berkebudayaan global. Selain daripada itu, pendidikan juga menjadi terobosan bagi para pengamat pendidikan untuk menghindari manusia dari keterbelengguan yang terjadi di dalam kehidupannya masing-masing. Peristiwa inilah yang kemudian melahirkan gagasan penting Ki Hajar Dewantara tentang pendidikan-pendidikan yang tidak membelenggu dan memerdekakan sesuai dengan landasan nilai-nilai luhur budaya bangsa. Bagi Ki Hajar Dewantara, pendidikan adalah potensi yang kuat dalam membentuk jati diri manusia yang berintelektual dan berkebudayaan tinggi sehingga ia dapat mewujudukan kodratnya sebagai makhluk hidup yang bermartabat.

Oleh karena itu, sebagai masyarakat yang terlibat di dalam dunia pendidikan, maka penting untuk memaknai nilai-nilai dasar pemikiran Ki Hajar Dewantara sebagai bekal dalam mewujudkan cita-cita pendidikan yang semestinya. Tidak hanya itu, pemaknaan ini juga digunakan untuk menjawab berbagai macam tantangan zaman, termasuk dalam merespon tantangan kekerasan di satuan lembaga pendidikan nasional seperti yang dipaparkan di awal tulisan ini. Adapun dasar-dasar pendidikan Ki Hajar Dewantara yang dapat diimplementasikan guna menjawab tantangan tersebut diantaranya:

  • Dasar-Dasar Pendidikan yang Menuntun

Di dalam pendidikan, Ki Hajar Dewantara memberikan analogi petani dan benih tanamannya sebagai representasi antara guru dengan siswa. Petani adalah kunci utama bagi pertumbuhan tanaman yang dimilikinya. Tanaman yang berhasil tumbuh dapat dilihat dari perlakuan petani dalam menjaga dan merawatnya. Meskipun benih tanaman yang dimiliki adalah benih yang kurang baik, namun jika diberikan perawatan yang luar biasa oleh pemiliknya, maka benih tersebut akan tumbuh sebagai tanaman yang indah dan menawan. Hal ini dapat dimaknai bahwa kualitas perkembangan siswa dapat diamati dari respon perilaku yang diberikan oleh guru di dalam kelas. Sebagai seorang guru, orientasi pendidikan yang diajarkan di dalam kelas tidak hanya semata-mata digunakan untuk keperluan mentransfer ilmu saja, namun juga memberikan tuntunan kekuatan kodrat dalam proses belajar siswa sehingga dapat menuntun dan memperbaiki segala laku hidup dan tumbuhnya kodrat siswa.

Pemikiran Ki Hajar Dewantara ini memberikan pemaknaan yang sangat luar biasa dalam konteks pendidikan. Jika boleh kita dalami kembali, sejatinya pendidikan yang menuntun tersebut perlu dilakukan oleh seluruh pelaku pendidikan, tidak hanya terbatas pada peran guru semata. Fakta ini yang kemudian jarang sekali kita amati dalam lautan pendidikan dewasa ini. Contohnya dalam kasus kekerasan yang dijelaskan sebelumnya, dapat diamati bahwa peran seorang pemimpin sangat jauh dari kata “menuntun”, bahkan tidak memberikan representasi yang baik bagi para guru dan tenaga pendidikan lainnya. Padahal, jika kita telaah bersama, pendidikan yang menuntun adalah kunci keberhasilan moril dalam diri seorang siswa. Oleh karena itu, perlu adanya implementasi dan relevansi pemikiran Ki Hajar Dewantara guna menciptakan pendidikan yang menuntun sesuai dengan kebutuhan zamannya masing-masing.

  • Kodrat Alam dan Kodrat Zaman

Menurut Ki Hajar Dewantara, konteks pendidikan nasional sangat erat kaitannya dengan kodrat alam dan kodrat zaman. Jika kita maknai, kodrat alam berkaitan dengan konteks sifat dan bentuk lingkungan yang disinggahi oleh manusia. Sederhananya, kodrat tersebut memiliki keterkaitan terhadap kondisi alam dan geografis Indonesia yang sangat beragam. Di Indonesia sendiri terdapat 17 ribu lebih pulau dengan bentuk geografis yang bermacam-macam. Fakta tersebut memberikan informasi bahwa kodrat alam berpeluang besar dalam mempengaruhi segala tumbuh laku dan kodrat anak dalam konteks pendidikan, termasuk dalam menghasilkan karakteristik dan budaya belajar yang berbeda-beda.

Selaras dengan kodrat alam, kodrat zaman juga dimaknai sebagai bagian dari esensi pendidikan dalam menghasilkan dan menumbuhkan kemampuan anak yang beragam, termasuk kemampuan anak untuk cakap terhadap keterampilan abad 21. Keterampilan tersebut diantaranya adalah communication, collaboration, creativity, dan critical thinking. Kedua kodrat ini dipandang sebagai aspek yang sangat penting dalam mewujudkan keberhasilan pendidikan menurut gagasan kritis Ki Hajar Dewantara. Dinamitas alam dan zaman memberikan kekuatan kepada guru dan para pelaku pendidikan untuk menuntun kodrat anak sesuai dengan perkembangan alam dan zamannya. Dengan demikian, bisa jadi antara zaman satu dengan zaman lainnya ataupun kondisi alam satu dengan kondisi alam lainnya adalah berbeda-beda dan tidak dapat dipaksakan kesamaannya dalam konteks pendidikan yang dimaksud.

  • Budi Pekerti

Secara definisi, budi pekerti dapat kita artikan sebagai sifat baik atau sifat luhur anak dalam menjalani setiap perjalanan hidup berdasarkan etika dan norma-norma yang melekat dalam dirinya. Sedangkan menurut Ki Hajar Dewantara, budi pekerti dapat didefinisikan sebagai keseimbangan yang dimiliki oleh anak untuk memadukan cipta, karsa, dan karya yang ada di dalam dirinya guna mencapai kodratnya sebagai manusia yang bermartabat. Berdasarkan makna tersebut, maka budi pekerti merupakan salah satu pilar pendidikan yang dapat menuntun dan menumbuhkan kodrat anak sejak dini. Jika kita soroti, keluarga merupakan peran pertama dalam membangun pilar tersebut. Anak akan menunjukkan laku berdasarkan kebiasaan dan ajaran dari keluarga. Peran keluarga adalah memberikan teladan dan contoh yang baik bagi tumbuh laku anak secara menyeluruh.

  • Sistem Among

Para pelaku pendidikan sudah semestinya menerapkan sistem among yang erat kaitannya dengan tiga semboyan Ki Hajar Dewantara, yaitu: Ing Ngarsa Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, dan Tut Wuri Handayani. Tiga semboyan tersebut dapat dimaknai sebagai berikut.

  • Ing Ngarsa Sung Tuladha memiliki arti bahwa sebagai seorang pelaku pendidikan, maka guru diharapkan dapat memberikan teladan dan contoh yang baik bagi budi pekerti dan laku anak. Tujuannya agar anak dapat mengikuti dan menerapkan kebaikan tersebut dalam menjalani setiap proses kehidupannya. 
  • Ing Madya Mangun Karsa memiliki arti bahwa sebagai guru hendaknya dapat membangun dan membangkitkan kekuatan kodrat anak untuk terus berkarya dan mengembangkan potensi yang dimilikinya. 
  • Tut Wuri Handayani memiliki arti bahwa seorang guru hendaknya berada di belakang untuk memberikan dorongan, semangat, dan motivasi kepada anak untuk mengeksplorasi daya cipta, karsa, dan karya yang melekat dalam dirinya. Guru juga hendaknya memberikan refleksi dan evaluasi guna memperbaiki segala laku anak yang belum sesuai dengan kodratnya.

 

IDENTITAS MANUSIA INDONESIA

Menyoroti keberagaman di Indonesia, maka kemanusiaan yang lahir di dalamnya merupakan kekayaan negara yang perlu dipupuk dan dipertahankan satu dengan lainnya. Keniscayaan ini mengisyaratkan bahwa keberagaman di Indonesia dapat menciptakan perbedaan yang sangat kompleks. Namun dalam realitanya, perbedaan tersebut tidak dapat dimaknai sebagai sesuatu yang negatif, justru perbedaan yang ada dapat menjadi identitas tersendiri bagi mayarakat Indonesia. Jika ditelaah secara mendalam, maka keberagaman masyarakat Indonesia sejak zaman dahulu hingga saat ini menjadi pondasi yang kuat bagi pertahanan negara. Fakta ini menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang berkebhinekaantunggalika. Artinya, mereka memiliki keragaman yang berbeda-beda namun memiliki semangat juang dan persatuan yang tinggi antara satu dengan lainnya. Keragaman tersebut dapat dimaknai sebagai sebuah ciri khas atau identitas bagi masyarakat setempat.

Selain dikenal karena kebhinekaannya, masyarakat Indonesia juga dikenal karena memiliki nilai-nilai ideologi yang melandasi kehidupannya. Ideologi tersebut adalah pancasila. Sebagai warga masyarakat Indonesia, pancasila merupakan pilar utama yang dapat membentuk karakter manusia menjadi pribadi yang kuat, toleran, dan berbudaya luhur. Nilai-nilai yang terkandung di dalam pancasila ini dapat diimplementasikan dalam perilaku kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia dan menjadi identitas kuat yang tidak dapat dihindari. Selain kedua aspek tersebut, dalam segi keagamaan, masyarakat Indonesia juga dikenal sebagai masyarakat yang religius. Agama atau religiusitas merupakan dua hal yang melekat kuat dalam diri merupakan Indonesia. Sebagai masyarakat yang sejak dulu lahir dan tumbuh di Indonesia, agama merupakan pegangan kuat seseorang dalam berperilaku dan bertindak. Realita ini memberikan informasi bahwa segala tindak tanduk masyarakat di Indonesia tidak dapat terlepas dari ketiga identitas tersebut. Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang berkebhinekaantunggalika, berideologi pancasila, dan religius.

KESIMPULAN

Berdasarkan uraian di atas, maka didapatkan benang merah antara dasar-dasar pemikiran Ki Hajar Dewantara dengan relevansi pendidikan nasional terdahulu, saat ini, dan di masa mendatang. Ide gagasan yang diusung oleh Ki Hajar Dewantara tersebut dinilai sangat relevan dalam menjawab berbagai tantangan pendidikan yang ada, termasuk dalam merespon tantangan kekerasan di satuan lembaga pendidikan nasional. Pemikiran kritis tersebut memberikan jendela informasi kepada seluruh pelaku pendidikan, tak terkecuali bagi guru, untuk terus memperhatikan perkembangan pendidikan yang ada. Tidak hanya itu, guru dan para pelaku pendidikan juga diharapkan dapat mengimplementasikan pemikiran kritis Ki Hajar Dewantara dalam menuntun segala tumbuh laku dan kodrat anak guna mencapai keselamatan dan kebahagiaan hidup setinggi-tingginya. Tentunya dengan disesuaikan pada nilai-nilai luhur budaya bangsa Indonesia.

PENUTUP 

Tantangan kekerasan di Indonesia merupakan project bersama sejak dahulu yang perlu segera diatasi keberadaannya. Tugas tersebut merupakan tanggung jawab bersama yang dapat dikonstruksi mulai dari lingkungan keluarga, sekolah, hingga masyarakat secara luas. Sebagai lembaga pendidikan, sekolah semestinya menjadi ruang yang nyaman bagi anak untuk melanjutkan kodrat hidupnya sebagai makhluk hidup yang bermartabat. Melalui pemaparan dasar-dasar pemikiran kritis Ki Hajar Dewantara di atas, harapannya guru dan seluruh pelaku pendidikan dapat menginternalisasi dan berperilaku sesuai dengan nilai-nilai yang ada. Sehingga jika di kemudian hari ditemukan kasus-kasus yang bertentangan dengan esensi pendidikan, maka guru beserta seluruh pelaku pendidikan tersebut dapat mengambil tindakan yang sesuai tanpa menghilangkan relevansi nilai-nilai luhur budaya bangsa dan keindahan melodi pendidikan yang telah digagas oleh Ki Hajar Dewantara sejak dahulu.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun