Mohon tunggu...
Nur Fadhilah
Nur Fadhilah Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Politik

Imunitas dan Impunitas DPR dalam Perubahan Kedua UU MD3

5 Maret 2018   14:36 Diperbarui: 5 Maret 2018   14:36 502
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

DPR sebagai wakil rakyat mempunyai tiga fungsi, yaitu: fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan. Penilaian kinerja DPR RI 2014-2019 pada satu tahun pertama menunjukkan hal yang memprihatinkan (Rasaili, 2015). Dalam menjalankan fungsi legislasi di tahun pertama, DPR hanya mampu menyelesaikan 3 UU dari 39 rencana prioritas RUU dengan anggaran 246 milyar rupiah. Kinerja DPR dalam bidang anggaran menghasilkan perencanaan anggaran yang hanya berorientasi pada kepentingan lembaga seperti: kenaikan dana reses, kenaikan dana tunjangan, pembangunan gedung DPR, dan pembangunan perpustakaan DPR. 

Dalam menjalankan fungsi pengawasan, kinerja DPR tidak jauh berbeda. DPR tidak melakukan tindak lanjut terhadap temuan-temuan BPK. Hal inilah yang menjadi pemicu rendahnya tingkat kepercayaan publik kepada DPR. Kepercayaan publik kepada DPR 2014-2019 adalah yang terendah dan terburuk selama masa reformasi dibandingkan dengan lembaga negara lainnya.

Kepercayaan publik kepada DPR kembali diuji pasca disahkannya perubahan kedua UU MD3 melalui Sidang Paripurna DPR pada tanggal 12 Februari 2018. Perubahan kedua UU MD3 adalah satu-satunya RUU yang berhasil disahkan DPR selama masa Sidang III dalam kurun waktu 9 Januari-14 Februari 2018. Selain itu, proses pembahasan RUU menyimpang dari kebiasaan karena tidak melibatkan publik. 

Dalam naskah akademik RUU Perubahan Kedua UU MD3, usulan perubahan hanya berkaitan dengan penambahan kursi pimpinan di MPR dan DPR. Namun dalam perjalanannya ternyata perubahan itu mengarah pada upaya menjadikan DPR sebagai lembaga yang antikritik. Beberapa pasal yang dinilai cukup kontroversial adalah:

  • Pasal 73 ayat (4) huruf b: Polri wajib memenuhi permintaan DPR untuk melakukan pemanggilan paksa kepada setiap orang yang tidak memenuhi panggilan DPR. Ketentuan ini sudah diatur pada UU No. 17 Tahun 2014 tentang MD3. Pada UU MD3, panggilan paksa dengan menggunakan Polri dilakukan setelah DPR menggunakan hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat. Pada perubahan kedua UU MD3 penggunaan ketiga hak tersebut ditiadakan, sehingga siapapun yang tidak memenuhi paggilan DPR selama 3 kali berturut-turut tanpa alasab yang patut dan sah dapat dilakukan panggilan paksa dengan menggunakan Polri. Jika perubahan kedua UU MD3 ini berlaku, maka yang harus dicermati adalah bagaimana mekanisme panggilan paksa dengan menggunakan Polri. Sesuai dengan amanah perubahan kedua UU MD3, ketentuan lebh lanjut mengenai hal ini akan diatur dengan Peraturan Polri;
  • Pasal 122 huruf k: MKD mengambil langkah hukum dan/atau langkah lain terhadap orang perseorangan, kelompom orang, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR. MKD sejatinya adalah lembaga yang berkaitan dengan kehormatan dewan, bukan publik. Pembentukan MKD bertujuan untuk menjaga dan menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat. Perluasan kewenangan MKD yang secara eksplisit ditegaskan pada Pasal 121A, yaitu pengawasan dan pencegahan, serta penindakan adalah hal yang tidak tepat. Hal ini mengingat MKD tidak terkait sama sekali dengan sistem peradilan pidana. Selain itu berdasarkan Putusan MK Nomor 31/PUU-XII/2015, bahwa penghinaan terhadap pejabat negara sudah diatur dalam KUHP dan termasuk dalam delik aduan. Jika anggota DPR merasa diserang dengan penghinaan, maka jalur hukum yang bisa ditempuh adalah melaporkan kepada yang berwenang tanpa harus berlindung di balik perluasan kewenangan MKD. Pasal 122 huruf k adalah pasal yang berlebihan;
  • Pasal 245 ayat (1): pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota DPR sehubungan dengan terjadinya tindak pidana harus mendapatkan persetujuan tertulis dari Presiden setelah mendapat pertimbangan dari MKD. Frasa "persetujuan tertulis dari MKD" dalam UU Nomor 17 Tahun 2014 telah dibatalkan oleh Putusan MK Nomor 76/PUU-XII/2014 dan diubah menjadi "persetujuan tertulis dari Presiden". Pasal "zombi" yang dibangkitkan kembali oleh DPR ini bukan hanya imunitas tapi impunitas bagi DPR.

Dari aspek sinkronisasi secara vertikal, ketiga pasal dalam perubahan kedua UU MD3 bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 28D utamanya tentang perlakuan yang sama di hadapan hukum. Sementara itu, dari aspek sinkronisasi secara horizontal, ketiga pasal tersebut bertentangan dengan UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Pasal 6 ayat (1) karena materi muatan pasal tidak mencerminkan asas kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan dan Pasal 10 ayat (1) karena materi muatan pasal tidak menindaklanjuti putusan MK. RUU perubahan kedua UU MD3 memang belum disahkan oleh Presiden, namun demikian jika dalam jangka waktu 30 hari sejak RUU tersebut disahkan, Presiden tidak juga mengesahkan, maka RUU tersebut sah menjadi UU dan wajib disahkan.

Apa yang bisa dilakukan?

Pertama, Presiden menetapkan Perppu. Presiden dapat menetapkan Perppu dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa. Namun Perppu harus melalui proses politik yang melibatkan DPR. Perppu harus mendapatkan persetujuan dari DPR dalam rapat paripurna, jika tidak maka Perppu harus dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Kecil kemungkinan Perppu bisa digulirkan mengingat tarik ulur kepentingan antar partai dalam DPR.

Kedua, mengajukan permohonan uji materi kepada MK. Meskipun MK baru-baru ini diguncang dengan tuntutan 54 guru besar agar ketua MK mundur, namun mengajukan permohonan uji materi perubahan kedua UU MD3 adalah langkah yang bisa ditempuh. Salah satu partai pendatang baru mulai mencari dukungan dari berbagai pihak untuk mengajukan permohonan uji materi kepada MK.

 Ketiga, pemilik hak suara harus bijak dalam menggunakan hak pilihnya dengan mempertimbangkan track record dari partai yang dipilih termasuk juga calon pemimpin yang diusung oleh partai. Pengalaman membuktikan kebijakan pemimpin dari organ partai seringkali tersandera oleh kepentingan partai.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun